In Ekonomi Kelembagaan Sekolah

Pembangunan Perdesaan dan Kelembagaan Sektor Finansial

Hasil gambar untuk village wallpaper

📜 Modal dan Pembangunan Perdesaan

Pedesaan dalam negara berkembang sering di Interpretasikan sebagai penyumbang pendapatan negara di sektor pertanian. Sementara itu dalam pengertian yang sempit, desa adalah suatu masyarakat para petani yang mencukupi hidup sendiri (swasembada). Dengan gambaran tersebut, tidak salah jika sebagian besar penduduk desa merupakan kelompok masyarakat miskin. Ciri penting dari penduduk di pedesaan ini adalah masalah kepemilikan tanah. Tanah masih merupakan dasar utama dari kesejahteraan dan kekuatan politik di wilayah dalam pertanian, dapat dilihat dari tingkat keterlibatan rumah tangga tersebut dalam aktivitas lain dan mengamati struktur pendapatan dari sumber-sumber yang lebih luas. Beberapa penulis menggunakan istilah “household survival strategies” sebagai cara bagi penduduk desa untuk mengatasi masalah yang muncul. Jumlah tenaga kerja yang tersedia akan berubah karena faktor kelahiran, kematian, perkawinan, sakit, kehamilan, dan migrasi.

Menurut Boeke, dalam penelitiannya tentang perekonomian Hindia-Belanda, perekonomian Indonesia terbagi menjadi dua sektor yang tidak saling berhubungan, yaitu sektor tradisional dan modern. Konsep dualisme ekonomi ini dapat dijelaskan dalam beberapa tahapan berikut:

  1. Fase pertama, tujuan pembangunan perdesaan diarahkan dari semula pembangunan komunitas (1950-an) ke penekanan pertumbuhan usaha tani kecil (1960-an).
  2. Fase Kedua, pertumbuhan usaha tani kecil (1960-an) dilanjutkan kepada upaya pembangunan perdesaan yang terintegrasi (1960-an) melalui kebijakan transfer teknologi, mekanisasi, dan penyuluhan pertanian.
  3. Fase ketiga, pergeseran pembangunan perdesaan yang dipandu negara (1970-an) menuju liberalisasi pasar (1980-an) melalui kebijakan penyesuaian structural dan pasar bebas.
  4. Fase keempat, pembangunan perdesaan diarahakan untuk penguatan pendekatan proses, partisipasi, pemberdayaan, dan pelaku (1980-an dan 1990-an).
  5. Fase kelima, pentingnya penghidupan yang berkesinambungan sebagai sebuah kerangka kerja yang terintegrasi dalam pembangunan perdesaan (1990-an) ,di antaranya lewat penguatan kredit mikro, jaring pengaman perdesaan, dan peran perempuan dalam pembangunan.
  6. Fase keenam, menempatkan pembangunan perdesaan sebagai strategi untuk mengurangi kemiskinan (2000-an).
📜 Sektor Finansial: Formal dan Informal

Pada umumnya, lembaga keuangan di perdesaan bisa dibedakan dalam tiga jenis, yaitu lembaga keuangan formal, lembaga keuangan semi-formal, dan lembaga keuangan informal. Lembaga keuangan formal diatur dalam UU Perbankan dan disupervisi oleh bank sentral, bisa berupa bank pemerintah maupun swasta. Bank semi-formal adalah perbankan yang tidak diatur dalam UU, tetapi disupervisi dan diregulasi oleh agen (lembaga) pemerintah selain bank sentral. Lembaga keuangan informal beroperasi di luar regulasi dan supervisi lembaga pemerintah (negara). Lembaga keuangan informal bukan sekedar menyediakan uang (cash) untuk keperluan transaksi, terkadang memberikan bantuan dalam bentuk barang (in-kind). Karakter yang fleksibel membuat lembaga keuangan informal memiliki daya tahan yang kuat untuk hidup di wilayah perdesaan.

Ciri penting dari lembaga keuangan formal dan semi-formal adalah tipe kesepakatan dalam bentuk sistem kontrak yang berisi tentang hak dan kewajiban dari masing-masing pihak, misalnya persyaratan agunan (collateral), model pembayaran (repayment), dan sanksi (punishment) apabila salah satu pihak ingkar terhadap kesepakatan. Sedangkan lembaga keuangan informal bersifat sangat cair, hubungan antara kreditor dan debitor bersifat personal, dan nyaris tidak ada persyaratan administrasi yang dibutuhkan. Dengan karakteristik tersebut, lembaga keuangan informal lebih mudah diterima oleh masyarakat perdesaan.

Terdapat satu lembaga keuangan lain di perdesaan yaitu lembaga keuangan swadaya (financial self-help groups). Prinsipnya adalah adanya rotasi tabungan dan asosiasi kredit (rotating savings and credit associations), anggota kelompok berkontribusi secara reguler memberikan dana kepada salah satu atau beberapa anggota (sistem giliran) berdasarkan kesepakatan perputaran atau tabungan dan kelompok kredit hal ini berguna untuk membangun kerjasama dana pinjaman melalui pembagian modal (capital shares), tabungan dan pendapatan bersih dari intermediasi antara penabung dan peminjam, dan menyediakan pinjaman berdasarkan tingkat bunga eksplisit dan permintaan eksplisit dari semua anggota.

Pada negara lain terdapat beragam lembaga keuangan yang beroperasi di perdesaan. Di Bangladesh dengan Grameen Bank (GB) yang menyediakan kredit kepada masyarakat miskin perdesaan (rumah tangga perdesaan yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar) agar terjadi perubahan kehidupan ekonomi yang lebih baik. GB membuat pinjaman skala kecil (small loans) di wilayah perdesaan melalui jaringan yang besar (large network) dari cabang-cabang dan jasa pelayanan alternatif. Hal tersebut memberikan dua keuntungan yaitu membuka akses yang besar terhadap kredit (karena tidak ada agunan) dan membebani masyarakat miskin dengan biaya bunga rendah (dibandingkan lembaga keuangan informal).

📜 Desain Kelembagaan Sektor Finansial

Persoalan lembaga keuangan di pedesaan bisa diidentifikasi dalam tiga aspek berikut. Yang pertama, masalah akses kredit. Karakteristik masyarakat pedesaan dengan skala usaha kecil menyebabkan mereka tidak memiliki aset yang mencukupi untuk digunakan sebagai agunan. Kedua, posisi tawar dan informasi masyarakat pedesaan yang sangat rendah menyebabkan rawan terhadap praktik manipulasi dan lembaga keuangan formal maupun semi formal. Ketiga, informasi yang asimetris dari pemberi pinjaman atau kredit terhadap peminjam. Lembaga keuangan formal hanya melihat agunan sebagai kriteria pemberian pinjaman, karena apabila terjad kasus kegagalan mereka tetap tidak ada risiko kehilangan uang yang dipinjamkan dengan jalan mengeksekusi agunan.

Kehadiran lembaga keuangan informal dapat dilihat melalui 2 perspektif yang pertama pemikiran represi keuangan yang beralasan bahwa pelaku keuangan informal memulai usaha sebagai akibat dari regulasi pemerintah yang besar besaran terhadap sektor keuangan formal seperti kebijakan penggunaan kredit langsung atau suku bunga ganda. Kedua pemikiran struktularis yang melihat munculnya lembaga keuangan informal diluar motif ekonomi. Dari perfektif ini segmentasi pasar terjadi bukan akibat regulasi pemerintah, tetapi karena kelembagaan keuangan informal memang melayani kelompok sosial lain.

Debitur terutama yang berskala kecil termasuk para petani memiliki posisi tawar yang rendah berhadapan dengan kelembagaan keuangan informal (money lander) dan tengkulak misalnya dalam kasus pengenaan suku bunga. Pelaku ekonomi skala kecil karena tidak memiliki opsi lain selain lembaga keuangan informal akibat tidak memiliki atau keterbatasan akses kelembagaan keuangan formal cenderung menerima berapapun tingkat suku bunga yang diberikan oleh pihak informal. Dalam beberapa kasus, tingkat suku bunga itu bisa mencapai 50% perbulannya. Dengan kata lain, tingkat bunga yang dikenakan mencapai 600% pertahun, berlipat-lipat dari tingkat lembaga keuangan formal yang berkisar 10-20% pertahun.

Dari fakta diatas menunjukkan bahwa kelemahan lembaga keuangan informal adalah menepatkan pelaku ekonomi skala kecil dalam posisi yang tidak setara. Oleh karena itu isu yang harus ditangani bila lembaga keuangan informal ini hendak dikembangkan adalah memperkuat posisi petani pada saat berhadapan dengan lembaga keuangan informal atau pemerintah memberikan regulasi batas bunga maksimal yang dapat dikenakan oleh lembaga keuangan informal pada debitor kecil.

Dalam konteks lembaga keuangan formal, kelemahan yang paling tampak adalah persyaratan agunan yang berat dan birokrasi yang berbelit sehingga menyusahkan para petani untuk mendapatkan kredit. Lembaga keuangan formal layak dikembangkan karena memiliki kelebihan seperti pengenaan bunga kredit yang lebih rendah serta lembaga keuangan formal juga mengajari pelaku usaha kecil membuat business plan untuk bekal keterampilan. Jadi yang harus diperbaiki dalam lembaga keuangan formal adalah masalah penurunan nilai agunan dan pemangkasan birokrasi, salah satu alternatifnya ialah pemerintah bisa menjadi penjamin agunan (collateral guarantor) dari setiap kredit yang diajukan masyarakat pedesaan ke lembaga keuangan formal. Lembaga keuangan informal memiliki kelebihan yaitu prosedur yang sederhana, tanpa agunan, atau saling mengenal dan waktu pengembalian kredit yang fleksibel. Karakter ini sangat cocok untuk pelaku ekonomi di pedesaan. Tetapi kelemahan utama lembaga keuangan informal yakni tingkat bunga kredit yang sangat tinggi. Disini pemerintah dapat mendesain regulasi dengan cara membatasi tingkat suku bunga atau memperluas akses masyarakat miskin kepada kredit formal yang jangka panjangnya membuat lembaga keuangan informal tertekan.

Ada dua langkah lain untuk mengatasi masalah tersebut.

Pertama, mengaitkan lembaga keuangan informal dengan lembaga keuangan formal, yang dimaksud asumsi ini adalah lembaga keuangan informal bisa diajak bekerja sama sebagai channel link kredit dari lembaga keuangan formal di pedesaan tentunya dengan konsekuensi memberikan kompensasi keuntungan kepada lembaga keuangan informal tersebut. Dengan modal seperti ini, semua pihak relatif diuntungkan.

Kedua, mendesain kelembagaan keuangan formal berdasarkan struktur atau hierarki masyarakat pedesaan, operasi lembaga keuangan formal didesain dengan cara mengadopsi nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat local seperti pengembangan BPR (bank perkreditan rakyat). Dengan cara ini, dibutuhkan ketua LPD (kepala adat kelian) yang memiliki sikap jujur, rela berkorban, memiliki integritas tinggi terhadap moral, tidak cacat di masyarakat. Hal ini mengusung adat istiadat, misalnya masyarakat Bali percaya dengan karmaphala yaitu setiap perbuatan akan menuai hasil yang sepadan.

Diluar itu, patut juga ditelaah adanya perkembangan yang luar biasa terhadap lembaga keuangan mikro, meskipun efek negative yang ditimbulkan juga tidak kalah banyak. Di seluruh dunia, pada periode 1998-2008, pertumbuhan lembaga keuangan mikro mencapai 474% dan jumlah nasabah melompat 1048% contoh dalam kasus pemerintah yang turun tangan terhadap lembaga keuangn informal seperti pemerintah Zambia memberikan banyak paket kebijakan jaminan sosial yang diperuntukkan untuk masyarakat miskin seperti manajemen kredit di sektor pertanian, investasi infrastruktur dan jasa publik, transfer uang/pendapatan untuk kesejateraan publik, subsidi makanan, dan program peningkatan kesempatan kerja. Pelaku program itu tidak hanya agen pemerintah tetapi juga lembaga non pemerintah dan sektor privat atau perusahaan. Meskipun sebagian besar anggaran berasal dari proyek pemerintah tetapi program terssebut ada yang lebih baik ditangani oleh non pemerintah seperti program pengawasan.

Sumber: Yustika, Ahmad Erani. 2013. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan. Jakarta: Erlangga.

Related Articles

0 wanderer:

Posting Komentar