In Ekonomi Kelembagaan

Studi Kasus: Perubahan Kelembagaan yang Didorong oleh Perubahan Modal Sosial

Hasil gambar untuk revolusi islam iran
Revolusi Islam di Iran


Perubahan kelembagaan berarti terjadi perubahan dalam regulasi dan organisasi, perilaku, dan pola interaksi. Arah perubahan ini disebabkan oleh meningkatnya perbedaan prinsip-prinsip dan pola umum dalam kelembagaan yang saling berhubungan, sementara dalam waktu yang sama terjadi peningkatan kebutuhan untuk melakukan integrasi dalam sistem sosial yang kompleks.

Perubahan kelembagaan ini mendorong perubahan kondisi, yang kemudian mendorong penyesuaian baru yang diperlukan melalui faktor eksternal (feedback) dan faktor internal (melalui internalisasi potensi produktivitas dan pemanfaatan sumber daya untuk menciptakan keseimbangan baru). Tujuan dari perubahan ini adalah untuk menginternalisasikan potensi produktivitas yang lebih besar dari perbaikan pemanfaatan sumber daya yang secara simultan akan menciptakan keseimbangan baru.

Perubahan kelembagaan merupakan hasil perjuangan antara berbagai kelompok yang berharap mendapatkan pembagian lebih baik di dalam pemanfaatan sumber daya dan distribusi pendapatan dan mereka yang berusaha menghalangi. Salah satu contoh kasus perubahan kelembagaan adalah ketika terjadinya revolusi pemerintahan Islam di Iran pada tahun 1979.

Iran dulunya merupakan negara yang identik dengan budaya yang modern dan cenderung sekuler di bawah pemerintahan Shah Reza Pahlevi. Sebenarnya, revolusi Islam yang terjadi di Iran merupakan sebuah anomali  dari  proses  modernisasi  di  negara  tersebut. 

Selama 26 tahun berkuasa, Shah Pahlevi telah melaksanakan beberapa revolusi yang mendorong tercapainya modernisasi. Salah satunya adalah terjadinya Revolusi Putih yang merupakan sebuah proyek besar-besaran pada tahun 1960. Di antara program Revolusi Putih adalah nasionalisasi sumber daya air, pendidikan gratis, pemberantasan korupsi dan buta huruf, pemberian hak mencoblos dalam pemilu untuk perempuan, dan banyak lagi. Namun di luar kebijakan yang terbilang progresif ini, hitung-hitungan ekonomi nampak suram bagi orang kecil.

Setelah itu, pertumbuhan ekonomi mencapai 8%, dengan sepertiga pendapatannya berasal dari minyak. Celakanya, administrasi Shah yang mengejar pertumbuhan mengabaikan pemerataan pendapatan. Dampaknya terasa ketika inflasi meroket ketika boom minyak berakhir pada 1976. Kondisi ekonomi tersebut memicu sebuah revolusi yang datang dari kelompok yang selama ini dianggap terbelakang, yaitu para alim ulama. Kebijakan reformasi agraria mengancam kepemilikan tanah yang selama ini menopang aktivitas-aktivitas keagamaan. Ditambah dengan pemberlakuan undang-undang sekuler yang memungkinkan warga non-muslim untuk memegang jabatan publik, beberapa dari mereka memutuskan turun ke jalan.

Sebenarnya, pada awal tahun 1970-an kaum islamis belum memegang peranan penting dalam gerakan anti-Shah. Afiliasi politik para ulama tersebar: sebagian bersama kaum liberal, sebagian lagi konstitusionalis atau bahkan marxis, dan yang lain memilih tidak berpolitik sama sekali. Pendirian negara Islam adalah gagasan yang terdengar asing.

Ayatollah Khomeini, yang saat itu sedang mengasingkan diri di Iraq karena tindakannya yang mengecam Shah, dari tanah pengasingan ia rajin memberikan ceramah, termasuk tentang pokok-pokok pemerintahan Islam, serta membangun kontak dengan aktivis-aktivis Ikhwanul Muslimin dan militan Palestina yang ia dukung secara finansial. Ceramah-ceramah itu kemudian direkam ke kaset dan disebarkan para pengikutnya yang rajin bolak-balik menembus perbatasan. Hingga tahun-tahun berikutnya, ia terus membuat komunike, kritik, dan polemik yang tidak saja ditujukan kepada pemerintah tetapi juga kepada ulama-ulama dalam negeri untuk memenangkan gagasan negara Islam—kendati belum terang detailnya—yang pada waktu itu belum diterima secara umum.

Puncaknya, pada 1977, tatkala boom minyak mencapai impasnya, inflasi melonjak drastis, pabrik-pabrik gulung tikar, dan angka pengangguran naik, seluruh agitasi Khomeini yang tersebar melalui koran bawah tanah dan kaset mulai diterima sebagai kebenaran oleh massa-rakyat. Ditambah lagi dengan adanya pemakaman Mustofa Khomeini (putra Ayatullah) pesan yang disampaikan semakin kuat, dan melawan kekuasaan Shah adalah jihad yang harus dilaksanakan. Ayatullah Khomeini dinobatkan sebagai symbol untuk perlawanan.

Dengan keadaan yang semakin genting, Shah akhirnya memutuskan untuk pergi ke Mesir tanpa pernah kembali. Pemboman, tembakan, dan perlawanan terus terjadi di Tehran. Ketika Shah pergi, Khomeini kembali ke Iran dengan ditemani oleh para penasihatnya dan juga jurnalis dari seluruh dunia. Kedatangannya disambut hangat oleh seluruh masyarakat Iran. Dalam proses ini, Bargazan ditunjuk menjadi presiden dan akan dibentuk konstitusi baru. Pihak Khomeini dan pengikutnya menginginkan Islam sebagai dasar Negara, sementara pihak Bargazan dan pengikutnya menginginkan demokrasi. Akhirnya, Islam menjadi nilai yang dominan dengan pengaruh demokrasi. Khomeini diberikan jabatan pemimpin tertinggi. Struktur  pemerintahan  Iran  menyiratkan negara  demokratis,  akan  tetapi,  ulama  memiliki peran yang krusial di dalamnya. Sebagai pemimpin tertinggi, Khomeini  memiliki  kewenangan  yang sangat luas, bahkan melebihi presiden.

Dapat disimpulkan, kasus  revolusi  Islam  di  Iran  pada  1979 ternyata memiliki logika yang cukup berbeda. Kenyataannya,  tidak  terjadi  perkembangan  politik dalam  arti  positif  yang  mampu  mendukung  keberlangsungannya rezim. Terlebih lagi, Shah juga tidak  berhasil  membangun  komponen-komponen yang  mendukung  berjalannya  sistem,  sehingga pada akhirnya, republik Islam muncul menggantikan monarki Iran yang sudah berusia 2500 tahun.

Hasil gambar untuk revolusi islam iran

IDENTIFIKASI

Adanya perubahan social ternyata mampu mendorong terjadinya perubahan kelembagaan. Dalam kasus ini, perubahan kelembagaan dipicu oleh adanya ketidakpuasan atas kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Shah Reza Pahlevi, meskipun kebijakan yang diterapkannya mendorong Iran menuju modernisasi. Adanya ketimpangan pendapatan dan hilangnya lahan-lahan pertanian yang menyebabkan masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani harus pergi menuju kota untuk melakukan urbanisasi, ternyata mendorong munculnya perlawanan dari kelompok alim ulama.

Ayatullah Khomeini memimpin gerakan pemogokan di seluruh negeri yang disebabkan karena Shah Reza Pahlevi berhasil merancang RUU yang menyatakan bahwa dewan yang baru dipilih tidak diwajibkan bersumpah dengan menggunakan Al-Quran. Pemogokan ini menimbulkan penolakan pada RUU tersebut. Khomeini kemudian menyampaikan sebuah khotbah yang menuduh Iran berkolusi dengan Israel dan mengecam Shah Reza Pahlevi, menyebabkan penangkapan yang dilakukan oleh polisi rahasia Iran, SAVAK.

Penangkapan Khomeini oleh SAVAK ini menyebabkan kerusuhan besar-besaran dan menimbulkan reaksi kekerasan oleh pihak aparat keamanan yang menyebabkan kematian ribuan orang.

Adanya revolusi islam ini menyebabkan perubahan yang sangat drastic pada Iran. Sebelumnya, pada pemerintahan Shah Reza Pahlevi, system pemerintahan adalah monarki kuno, yang telah berlangsung selama 2500 tahun. Dengan adanya revolusi Islam ini, system pemerintahan menjadi ajaran teokrasi (velayat-e faqih) yang berupa sebuah Republik Islam. Revolusi ini terjadi dalam dua tahapan. Revolusi tahap pertama bermula pada tahun 1979 yang dipimpin oleh pihak liberal, golongan haluan kiri, dan para pemuka agama. Revolusi tahap kedua terjadi ketika Khomeini naik menjadi pemimpin besar revolusi.

Dampak dari adanya revolusi ini beberapa diantaranya adalah terjadinya kenaikan jumlah penduduk karena adanya larangan untuk melakukan program keluarga berencana, kemudian menurunnya pertumbuhan ekonomi karena adanya embargo minyak Uni Eropa dan sanksi yang diberikan oleh AS terhadap bank sentral Iran, dan juga menurunnya jumlah bioskop (sebelum revolusi berjumlah 450 bioskop, dan pada tahun 2015 turun menjadi 380 bioskop) dan buku yang diproduksi (sebelum revolusi, rata-rata buku yang dicetak per judul adalah 7.000 kopi, sementara kini rata-ratanya turun menjadi hanya 200 kopi).

REFERENSI
Pramono, Budi. 2017. Perubahan Politik Oleh Faktor Agama. Jurnal Kajian Politik dan Masalah Pembangunan.
https://news.detik.com/bbc-world/d-4423984/beda-iran-sebelum-dan-sesudah-revolusi-tahun-1979

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Ekonomi Kelembagaan Sekolah

Orde Baru VS Reformasi: Mana Lebih Baik?


Tahun demi tahun berlalu. Zaman perlahan berganti. Masyarakat terus bergerak. Namun, apakah pemerintahan kita juga ikut bergerak?

Indonesia telah mengalami sejarah panjang meskipun umurnya masih cukup hijau. Mulai dari penjajahan, kemerdekaan, orde lama, orde baru, hingga reformasi. Mulai dari perjuangan menggunakan bambu runcing hingga perlawanan melalui jemari. Mulai dari era peperangan dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan, hingga kini globalisasi.

Apa saja yang berubah? Apakah perubahan ini menuju arah yang lebih baik atau buruk?

INFLASI




Inflasi di Indonesia pada orde baru cenderung berfluktuasi, hal ini dikarenakan adanya pengaruh kenaikan harga beras yang tinggi karena musim kemarau yang panjang. Selain itu juga karena turunnya harga minyak dunia yang menyebabkan kenaikan harga di dalam negeri. Inflasi memuncak pada tahun 1998 dimana nilai tukar benar-benar jatuh dan menyebabkan reformasi. Kemudian, pada 1999 laju inflasi langsung turun dan hanya sebesar 2% . Ini juga merupakan angka inflasi terendah setelah berlangsungnya reformasi. Dalam 20 tahun terakhir, inflasi tertinggi tercatat pada 2005, yakni mencpaai 17,1% dampak dari kenaikan harga bahan bakar minyak di era kepemimipinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

PERTUMBUHAN EKONOMI
   



Pertumbuhan ekonomi pada orde baru cenderung tinggi dan berfluktuasi. Sejak 1961, ekonomi Indonesia secara umum selalu mengalami pertumbuhan dan hanya dua kali mengalami kontraksi. Pertumbuhan PDB Indonesia tertinggi dicatat pada 1968 atau awal era Orde Baru, yakni mencapai 10,92%. Sementara di era reformasi, pertumbuhan ekonomi tertinggi dicatat pada 2007, yaitu sebesar 6,35%. Namun, ekonomi Indonesia juga pernah mengalami kontraksi atau pertumbuhan negatif, yakni pada 1963 di era Orde Lama dan pada 1998 saat terjadi krisis finansial Asia. Terjadinya krisis yang dibarengi dengan aksi kerusuhan di seluruh tanah air membuat ekonomi Indonesia mengalami kontraksi sangat dalam hingga -13,13%. Apabila dibandingkan, pertumbuhan pada orde baru lebih tinggi dan berfluktuatif, tidak seperti era reformasi yang cenderung stagnan pada angka 5%.


KETIMPANGAN



Tingkat ketimpangan pendapatan pada orde baru lebih rendah daripada era reformasi. Pada era orde baru, tingkat ketimpangan hanya berkisar antara 0,32 hingga 0,35. Tetapi mulai reformasi hingga saat ini, ketimpangan semakin tinggi, bahkan angkanya mencapai 0,42. Hal ini diyakini karena pada zaman orde baru, pemerintah mampu mengendalikan distribusi pendapatan agar tetap merata sehingga tidak terjadi ketimpangan pendapatan. Apabila dilihat dari grafik sebelumnya, yaitu pertumbuhan ekonomi, dapat dilihat bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi (pada masa orde baru) ternyata tidak meningkatkan ketimpangan pendapatan di masyarakat. Peran pemerintah memegang andil tinggi dalam hal ini melalui kebijakan-kebijakannya.


ANGKATAN KERJA




Angkatan kerja Indonesia terus meningkat seiring dengan jumlah penduduk yang terus meningkat pula. Demikian pula jumlah angkatan kerja yang bekerja mencatat kenaikan dari tahun ke tahun. Angkatan kerja pada 1986 baru mencapai 67 juta jiwa kemudian pada 2002 telah menembus 100 juta jiwa.


KEMISKINAN


 


Jumlah penduduk miskin terus menurun sejak tahun 1970. Pada 1970, jumlah penduduk miskin mencapai 60% dari total populasi Indonesia dengan jumlahnya mencapai lebih dari 70 juta jiwa. Pada 1996, angka kemiskinan turun menjadi 11,3 persen dari populasi dengan jumlah penduduk miskin menjadi tinggal 27,2 juta jiwa. Namun, akibat krisis finansial 1997-1998, angka kemiskinan meningkat menjadi 24,2 persen dari populasi dengan penduduk miskin mencapai 49,5 juta jiwa. Setelah krisis berlalu, angka kemiskinan kembali menunjukkan tren penurunan dan mencapai level terendahnya pada September 2017 sebesar 10,12 persen dari total populasi atau sebanyak 26,58 juta jiwa.

Dari beberapa pembahasan diatas, dapat kita simpulkan melalui tabel di bawah ini:


KATEGORI
ORDE BARU
REFORMASI
INFLASI
fluktuatif
Stabil
PERTUMBUHAN EKONOMI
Tinggi dan fluktuatif
Stagnan (kisaran 5%)
KETIMPANGAN
Berkisar angka 0,32-0,35
Berkisar angka 0,35-0,40
ANGKATAN KERJA
Tren Meningkat
Tren Meningkat
KEMISKINAN
Turun
Turun

Sumber:

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Ekonomi Kelembagaan Sekolah

Pembangunan Perdesaan dan Kelembagaan Sektor Finansial

Hasil gambar untuk village wallpaper

📜 Modal dan Pembangunan Perdesaan

Pedesaan dalam negara berkembang sering di Interpretasikan sebagai penyumbang pendapatan negara di sektor pertanian. Sementara itu dalam pengertian yang sempit, desa adalah suatu masyarakat para petani yang mencukupi hidup sendiri (swasembada). Dengan gambaran tersebut, tidak salah jika sebagian besar penduduk desa merupakan kelompok masyarakat miskin. Ciri penting dari penduduk di pedesaan ini adalah masalah kepemilikan tanah. Tanah masih merupakan dasar utama dari kesejahteraan dan kekuatan politik di wilayah dalam pertanian, dapat dilihat dari tingkat keterlibatan rumah tangga tersebut dalam aktivitas lain dan mengamati struktur pendapatan dari sumber-sumber yang lebih luas. Beberapa penulis menggunakan istilah “household survival strategies” sebagai cara bagi penduduk desa untuk mengatasi masalah yang muncul. Jumlah tenaga kerja yang tersedia akan berubah karena faktor kelahiran, kematian, perkawinan, sakit, kehamilan, dan migrasi.

Menurut Boeke, dalam penelitiannya tentang perekonomian Hindia-Belanda, perekonomian Indonesia terbagi menjadi dua sektor yang tidak saling berhubungan, yaitu sektor tradisional dan modern. Konsep dualisme ekonomi ini dapat dijelaskan dalam beberapa tahapan berikut:

  1. Fase pertama, tujuan pembangunan perdesaan diarahkan dari semula pembangunan komunitas (1950-an) ke penekanan pertumbuhan usaha tani kecil (1960-an).
  2. Fase Kedua, pertumbuhan usaha tani kecil (1960-an) dilanjutkan kepada upaya pembangunan perdesaan yang terintegrasi (1960-an) melalui kebijakan transfer teknologi, mekanisasi, dan penyuluhan pertanian.
  3. Fase ketiga, pergeseran pembangunan perdesaan yang dipandu negara (1970-an) menuju liberalisasi pasar (1980-an) melalui kebijakan penyesuaian structural dan pasar bebas.
  4. Fase keempat, pembangunan perdesaan diarahakan untuk penguatan pendekatan proses, partisipasi, pemberdayaan, dan pelaku (1980-an dan 1990-an).
  5. Fase kelima, pentingnya penghidupan yang berkesinambungan sebagai sebuah kerangka kerja yang terintegrasi dalam pembangunan perdesaan (1990-an) ,di antaranya lewat penguatan kredit mikro, jaring pengaman perdesaan, dan peran perempuan dalam pembangunan.
  6. Fase keenam, menempatkan pembangunan perdesaan sebagai strategi untuk mengurangi kemiskinan (2000-an).
📜 Sektor Finansial: Formal dan Informal

Pada umumnya, lembaga keuangan di perdesaan bisa dibedakan dalam tiga jenis, yaitu lembaga keuangan formal, lembaga keuangan semi-formal, dan lembaga keuangan informal. Lembaga keuangan formal diatur dalam UU Perbankan dan disupervisi oleh bank sentral, bisa berupa bank pemerintah maupun swasta. Bank semi-formal adalah perbankan yang tidak diatur dalam UU, tetapi disupervisi dan diregulasi oleh agen (lembaga) pemerintah selain bank sentral. Lembaga keuangan informal beroperasi di luar regulasi dan supervisi lembaga pemerintah (negara). Lembaga keuangan informal bukan sekedar menyediakan uang (cash) untuk keperluan transaksi, terkadang memberikan bantuan dalam bentuk barang (in-kind). Karakter yang fleksibel membuat lembaga keuangan informal memiliki daya tahan yang kuat untuk hidup di wilayah perdesaan.

Ciri penting dari lembaga keuangan formal dan semi-formal adalah tipe kesepakatan dalam bentuk sistem kontrak yang berisi tentang hak dan kewajiban dari masing-masing pihak, misalnya persyaratan agunan (collateral), model pembayaran (repayment), dan sanksi (punishment) apabila salah satu pihak ingkar terhadap kesepakatan. Sedangkan lembaga keuangan informal bersifat sangat cair, hubungan antara kreditor dan debitor bersifat personal, dan nyaris tidak ada persyaratan administrasi yang dibutuhkan. Dengan karakteristik tersebut, lembaga keuangan informal lebih mudah diterima oleh masyarakat perdesaan.

Terdapat satu lembaga keuangan lain di perdesaan yaitu lembaga keuangan swadaya (financial self-help groups). Prinsipnya adalah adanya rotasi tabungan dan asosiasi kredit (rotating savings and credit associations), anggota kelompok berkontribusi secara reguler memberikan dana kepada salah satu atau beberapa anggota (sistem giliran) berdasarkan kesepakatan perputaran atau tabungan dan kelompok kredit hal ini berguna untuk membangun kerjasama dana pinjaman melalui pembagian modal (capital shares), tabungan dan pendapatan bersih dari intermediasi antara penabung dan peminjam, dan menyediakan pinjaman berdasarkan tingkat bunga eksplisit dan permintaan eksplisit dari semua anggota.

Pada negara lain terdapat beragam lembaga keuangan yang beroperasi di perdesaan. Di Bangladesh dengan Grameen Bank (GB) yang menyediakan kredit kepada masyarakat miskin perdesaan (rumah tangga perdesaan yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar) agar terjadi perubahan kehidupan ekonomi yang lebih baik. GB membuat pinjaman skala kecil (small loans) di wilayah perdesaan melalui jaringan yang besar (large network) dari cabang-cabang dan jasa pelayanan alternatif. Hal tersebut memberikan dua keuntungan yaitu membuka akses yang besar terhadap kredit (karena tidak ada agunan) dan membebani masyarakat miskin dengan biaya bunga rendah (dibandingkan lembaga keuangan informal).

📜 Desain Kelembagaan Sektor Finansial

Persoalan lembaga keuangan di pedesaan bisa diidentifikasi dalam tiga aspek berikut. Yang pertama, masalah akses kredit. Karakteristik masyarakat pedesaan dengan skala usaha kecil menyebabkan mereka tidak memiliki aset yang mencukupi untuk digunakan sebagai agunan. Kedua, posisi tawar dan informasi masyarakat pedesaan yang sangat rendah menyebabkan rawan terhadap praktik manipulasi dan lembaga keuangan formal maupun semi formal. Ketiga, informasi yang asimetris dari pemberi pinjaman atau kredit terhadap peminjam. Lembaga keuangan formal hanya melihat agunan sebagai kriteria pemberian pinjaman, karena apabila terjad kasus kegagalan mereka tetap tidak ada risiko kehilangan uang yang dipinjamkan dengan jalan mengeksekusi agunan.

Kehadiran lembaga keuangan informal dapat dilihat melalui 2 perspektif yang pertama pemikiran represi keuangan yang beralasan bahwa pelaku keuangan informal memulai usaha sebagai akibat dari regulasi pemerintah yang besar besaran terhadap sektor keuangan formal seperti kebijakan penggunaan kredit langsung atau suku bunga ganda. Kedua pemikiran struktularis yang melihat munculnya lembaga keuangan informal diluar motif ekonomi. Dari perfektif ini segmentasi pasar terjadi bukan akibat regulasi pemerintah, tetapi karena kelembagaan keuangan informal memang melayani kelompok sosial lain.

Debitur terutama yang berskala kecil termasuk para petani memiliki posisi tawar yang rendah berhadapan dengan kelembagaan keuangan informal (money lander) dan tengkulak misalnya dalam kasus pengenaan suku bunga. Pelaku ekonomi skala kecil karena tidak memiliki opsi lain selain lembaga keuangan informal akibat tidak memiliki atau keterbatasan akses kelembagaan keuangan formal cenderung menerima berapapun tingkat suku bunga yang diberikan oleh pihak informal. Dalam beberapa kasus, tingkat suku bunga itu bisa mencapai 50% perbulannya. Dengan kata lain, tingkat bunga yang dikenakan mencapai 600% pertahun, berlipat-lipat dari tingkat lembaga keuangan formal yang berkisar 10-20% pertahun.

Dari fakta diatas menunjukkan bahwa kelemahan lembaga keuangan informal adalah menepatkan pelaku ekonomi skala kecil dalam posisi yang tidak setara. Oleh karena itu isu yang harus ditangani bila lembaga keuangan informal ini hendak dikembangkan adalah memperkuat posisi petani pada saat berhadapan dengan lembaga keuangan informal atau pemerintah memberikan regulasi batas bunga maksimal yang dapat dikenakan oleh lembaga keuangan informal pada debitor kecil.

Dalam konteks lembaga keuangan formal, kelemahan yang paling tampak adalah persyaratan agunan yang berat dan birokrasi yang berbelit sehingga menyusahkan para petani untuk mendapatkan kredit. Lembaga keuangan formal layak dikembangkan karena memiliki kelebihan seperti pengenaan bunga kredit yang lebih rendah serta lembaga keuangan formal juga mengajari pelaku usaha kecil membuat business plan untuk bekal keterampilan. Jadi yang harus diperbaiki dalam lembaga keuangan formal adalah masalah penurunan nilai agunan dan pemangkasan birokrasi, salah satu alternatifnya ialah pemerintah bisa menjadi penjamin agunan (collateral guarantor) dari setiap kredit yang diajukan masyarakat pedesaan ke lembaga keuangan formal. Lembaga keuangan informal memiliki kelebihan yaitu prosedur yang sederhana, tanpa agunan, atau saling mengenal dan waktu pengembalian kredit yang fleksibel. Karakter ini sangat cocok untuk pelaku ekonomi di pedesaan. Tetapi kelemahan utama lembaga keuangan informal yakni tingkat bunga kredit yang sangat tinggi. Disini pemerintah dapat mendesain regulasi dengan cara membatasi tingkat suku bunga atau memperluas akses masyarakat miskin kepada kredit formal yang jangka panjangnya membuat lembaga keuangan informal tertekan.

Ada dua langkah lain untuk mengatasi masalah tersebut.

Pertama, mengaitkan lembaga keuangan informal dengan lembaga keuangan formal, yang dimaksud asumsi ini adalah lembaga keuangan informal bisa diajak bekerja sama sebagai channel link kredit dari lembaga keuangan formal di pedesaan tentunya dengan konsekuensi memberikan kompensasi keuntungan kepada lembaga keuangan informal tersebut. Dengan modal seperti ini, semua pihak relatif diuntungkan.

Kedua, mendesain kelembagaan keuangan formal berdasarkan struktur atau hierarki masyarakat pedesaan, operasi lembaga keuangan formal didesain dengan cara mengadopsi nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat local seperti pengembangan BPR (bank perkreditan rakyat). Dengan cara ini, dibutuhkan ketua LPD (kepala adat kelian) yang memiliki sikap jujur, rela berkorban, memiliki integritas tinggi terhadap moral, tidak cacat di masyarakat. Hal ini mengusung adat istiadat, misalnya masyarakat Bali percaya dengan karmaphala yaitu setiap perbuatan akan menuai hasil yang sepadan.

Diluar itu, patut juga ditelaah adanya perkembangan yang luar biasa terhadap lembaga keuangan mikro, meskipun efek negative yang ditimbulkan juga tidak kalah banyak. Di seluruh dunia, pada periode 1998-2008, pertumbuhan lembaga keuangan mikro mencapai 474% dan jumlah nasabah melompat 1048% contoh dalam kasus pemerintah yang turun tangan terhadap lembaga keuangn informal seperti pemerintah Zambia memberikan banyak paket kebijakan jaminan sosial yang diperuntukkan untuk masyarakat miskin seperti manajemen kredit di sektor pertanian, investasi infrastruktur dan jasa publik, transfer uang/pendapatan untuk kesejateraan publik, subsidi makanan, dan program peningkatan kesempatan kerja. Pelaku program itu tidak hanya agen pemerintah tetapi juga lembaga non pemerintah dan sektor privat atau perusahaan. Meskipun sebagian besar anggaran berasal dari proyek pemerintah tetapi program terssebut ada yang lebih baik ditangani oleh non pemerintah seperti program pengawasan.

Sumber: Yustika, Ahmad Erani. 2013. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan. Jakarta: Erlangga.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Ekonomi Kelembagaan Sekolah

Krisis Ekonomi, Kebijakan Reformasi, dan Kelembagaan Ekonomi

Hasil gambar untuk economic crisis wallpaper

📜 Perspektif Krisis Ekonomi

Ada dua alasan menempatkan krisis 1997/1998 sebagai titik pijak mengkaji ulang perekonomian nasional, yaitu:
  • Krisis sangat dahsyat sehingga menghancurkan seluruh sendi perekonomian, pemicunya dari sisi moneter, khususnya nilai tukar. Krisis itu meruntuhkan bangunan sektor rill yang berakibat pertumbuhan ekonomi terperosok hingga minus 13,1% pada 1998 (Nasution, 2002:158)
  • Setelah krisis tersebut, perekonomian nasional menjadi lebih ramah kepada pasar terbuka, dan terdesentralisasi.

Sejak dekade 1980-an dinamika perekonomian berjalan dengan cepat. Hal ini terjadi di negara maju maupun berkembang. Pertengahan tahun 1997 krisis ekonomi menyerang wilayah Asia dan terus merembet ke negara-negara lainnya (Stiglitz, 2004:5). Pemicu krisis 1997/1998. Pertama, pandangan yang beragumentasi bahwa fundamental ekonomi yang rapuh dan inkonsistensi kebijakan sebagai sumber utama krisis “first generation model” dikembangkan oleh Krugman (1979) serta Flood dan Garber (1986) yang menjelaskan krisis mata uang sebagai hasil dari inkonsistensi fundamental dalam memformulasikan kebijakan ekonomi domestik. Kedua, keyakinan bahwa sumber krisis adalah kepanikan yang terjadi di sektor keuangan yang berinteraksi dengan ekspektasi pelaku ekonomi sehingga berpengaruh langsung terhadap kebijakan makroekonomi “second generation model” diusung oleh Obstfeld (1996) memberi penjelasan deskripsi generik hubungan teoretis antara model makroekonomi dengan ekspektasi rasional, di mana diyakini ekspektasi yang terjadi di pasar berpengaruh secara langsung terhadap keputusan membuat kebijakan ekonomi (lihat juga Roubini dan Mihm, 2010:29).

Pada kasus Indonesia, pandangan first generation model dapat dilacak kebenarannya setelah melihat fundamental ekonomi nasional. Sebagian besar perbankan dimiliki oleh konglomerat yang memanfaatkan bank tersebut untuk membiayai perusahaan satu induknya, sehingga kerap melanggar regulasi “legal lending limit”. BUMN juga dipaksa melakukan penyimpangan untuk memberi ongkos proyek pemerintah yang studi kelayakannya tidak jelas maupun proyek yang beresiko tinggi.

Second generation model, pada November 1997 krisis ekonomi di Indonesia tidak akan menyebar secara cepat dan mengalami pendalaman yang parah bila pemerintah tidak mengambil keputusan melikuidasi 16 bank (sesuai anjuran IMF), IMF merasa bank-bank tersebut tergolong kecil, hanya memberikan kontribusi sekitar 2,5% dari total aset sektor perbankan sehingga dipastikan tidak akan menciptakan komplikasi masalah yang berlebihan (Indrawati, 2002:582).

📜 Reformasi Ekonomi Terbalik

Reformasi Ekonomi terbalik adalah pemerintah melakukan perombakan pada level makro ekonomi terlebih dulu dan hal tersebut dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada saat krisis ekonomi 1997/1998 dan hal tersebut serupa diterapkan di negara-negara Eropa Timur. Proyek reformasi ekonomi dijajaki sejak krisis ekonomi politik pada 1997/1998. Dalam implementasinya terdapat dua kubu yakni kubu Asia dan kubu Eropa Timur. Dalam mendesain perbaikan kinerja perusahaan, khususnya perlakuan terhadap BUMN, pendekatan Asia lebih banyak menempuh upaya-upaya perluasan otonomi dan akuntabilitas. Negara Eropa Timur lebih menyukai cara privatisasi untuk mereformasi kinerja BUMN. Negara-negara Asia menganggap yang diperlukan sebuah korporasi untuk mengembangkan diri adalah adanya otonomi dan akuntabilitas, bukan terletak pada masalah kepemilikannya. Apakah dipunyai oleh negara atau swasta. Negara-negara Eropa Timur memandang pasar (swasta) akan lebih mampu secara efektif dan efisien memajukan sebuah perusahaan dibandingkan apabila dikelola oleh negara. Reformasi ekonomi terbalik pada situasi Indonesia dimana:

  • Pemerintah mengubah secara drastis hak kepemilikan sumber daya ekonomi menuju kepemilikan swasta termasuk sumber daya ekonomi yang seharusnya dikuasai oleh negara.
  • Kontrol harga dilepas satu per satu, khususnya yang berkenaan dengan komoditas pertanian, padahal kelembagaan produksi dan distribusi belum sepenuhnya disentuh pemerintah.
  • Liberalisasi dijalankan secara ekstensif, baik di sektor perdagangan maupun investasi asing (Kuncoro dan Resosudarmo, 2006:350). Indeks keterbukaan pasar keuangan Indonesia berada pada posisi kedua tertinggi setelah Singapura pada 2006. Sebaliknya, pasar keuangan di China dan India sangat ketat.
  • Strategi privatisasi lebih dipilih pemerintah untuk membangun kultur korporasi dan efisiensi BUMN. Pemerintah meyakini sektor swasta (domestik atau asing) lebih mampu memperbaiki kinerja BUMN yang sedang sekarat.
Terdapat dua argumen penting kegagalan sebagian program reformasi ekonomi di Indonesia (Tian, 2001:387; Kherallah dan Kirsten, 2001:4):
  • Analisis yang fokus pada pilihan dan urutan kebijakan reformasi ekonomi. Pendekatan ini meyakini bahwa pilihan kebijakan reformasi antarnegara tidak bisa diseragamkan karena masing-masing negara memiliki karakteristik dan problem ekonomi yang berlainan.

  • Lemahnya desain dan penegakan kelembagaan sebagai 'kaki' dari kebijakan yang telah diproduksi. Pendekatan ini pada level makro berkonsentrasi pada penyusunan kerangka hukum, ekonomi, dan politik agar kebijakan yang diproduksi bisa menjawab tujuan yang ditargetkan. Pada level mikro, pendekatan kelembagaan ini secara spesifik mendesain aturan main yang memungkinkan semua pelaku ekonomi dapat bersaing atau bekerja sama secara adil.
Ada lima implikasi serius dari kebijakan reformasi ekonomi:
  • Liberalisasi keuangan hanya menjadi instrumen menafkahi kepentingan sektor keuangan itu sendiri bukan menumbuhkan sektor riil. Sebagian dana perbankan (domestik maupun asing) tidak disalurkan dalam bentuk kredit, tapi berbentuk SBI dan SUN.
  • Harga komoditas melambung, turunnya nilai tukar pertanian karena kontrol harga petani dilepas dan kontrol harga dipegang oleh tengkulak
  • Impor terus bertambah dan sektor informal semakin membengkak
  • Kalahnya pelaku ekonomi tradisional
  • terjadinya ketimpangan pendapatan meningkat seiring laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Rasio Gini melesat 0,41 pada 2011. Pola ini mirip dengan peristiwa di AS, ketika kebijakan pasca krisis ekonomi 2008 sangat menguntungkan lapisan penduduk paling atas (1% penduduk terkaya) sehingga membuat ketimpangan pendapatan melonjak (Stiglitz, 2012:3). Lima implikasi ini merupakan “cost of economic reform” yang harus ditanggung masyarakat.

📜 Kerapuhan Kelembagaan Makro

Kelembagaan ekonomi yang bagus akan mendorong masyarakat berinvestasi, mengakumulasi modal, dan mengembangkan teknologi baru sehingga masyarakat menjadi lebih sejahtera. Ada tiga aspek reformasi kelembagaan pada level makro (institutional environment) yang kurang disentuh pada saat menjalankan reformasi ekonomi, yakni kelembagaan reformasi administrasi (administrative reform), sistem hukum (legal system reform) dan politik (political reform) Chowdhury, 1999:389).

Faktor penyebab terjadi kerapuhan adalah eksternalitas dari perusahaan, barang publik, praktik monopoli dan oligopoli. Dalam pandangan klasik hal ini penyebab kegagalan pasar akibat ketidakjelasan hak kepemilikan maka kepastiannya dijamin melalui sistem legal yang kuat mencegah munculnya pelaku ekonomi yang berbuat curang, penjiplakan, pembajakan. Spirit reformasi ekonomi adalah memberi tempat yang layak kepada pasar untuk menjalankan misi percepatan kegiatan ekonomi dengan basis efisiensi.

Aspek reformasi administrasi-birokrasi nyaris tidak disentuh dalam desain besar reformasi ekonomi di Indonesia. Investasi yang terjadi di suatu negara bukan hanya fungsi dari tingkat suku bunga, ekspektasi ekonomi, ketersediaan infrastruktur, ataupun pasokan kredit. Kasus Indonesia yakni, ketidakmampuan sistem legal memproteksi investor dari perilaku menyimpang (opportunism) pelaku ekonomi lainnya. Pencurian hak cipta, penjiplakan, dan pembajakan merupakan hal yang jamak dalam keseharian kegiatan ekonomi, sementara sistem legal memproteksi investor dari perilaku menyimpang. Implikasinya, insentif ekonomi untuk melakukan investasi menjadi berkurang. Praktik ini menyebabkan rasio kredit terhadap PDB di Indonesia sangat rendah dibandingkan negara-negara lain. Tabel 13.2 mewartakan rasio kredit terhadap PDB di Indonesia hanya skitar 29,1% pada 2010, sangat jauh dibandingkan dengan Thailand (116,6%), Malaysia (114,9%), Singapura (102,1%), dan Vietnam 125%).

📜 Kedangkalan Kelembagaan Mikro

Selain adanya kegagalan untuk menciptakan perubahan kelembagaan makro yang menjadi enablin environment perjalaan reformasi ekonomi, masalah kelembagaan juga muncul pada level mikro (institutional arrangement). Reformasi ekonomi di Indonesia dapat menghasilkan stabilitas mikroekonomi yang relatif bagus, namun meninggalkan residu yang tidak kalah gawat, yaitu kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan pengangguran. Hal tersebut disebabkan oleh faktor-faktor, yaitu:
  • Meskipun dana dan banyak kebijakan ekonomi sudah diproduksi untuk mengatasi masalah kemiskinan, namun penurunan jumlah orang miskin tidak terjadi secara signifikan. Hal ini dikarenakan pemerintah alpa merumuskan kebijakan langsung yang mengaitkan kelembagaan dengan strategi pengurangan kemiskinan, tidak melalui penciptaan aturan main (rules of the game).
  • Pertumbuhan ekonomi yang stabil justru menjadi lahan subur bagi peningkatan ketimpangan. Hal tersebut terjadi karena beberapa faktor. Pertama, adana tendensi kesnjangan antara inflasi dan upah minimum yang semakin tipis. Kedua, liberalisasi keuangan hanya menjadi instrumen memutar dana dari satu pemilik modal ke pemilik modal lainnya.
  • Pengangguran terbuka secara sistematis menunjukkan penurunan, tetapi jumlah pekerja yang tergolong setengah menganggur masih sangat besar.
Dalam perspektif kelembagaan, hal ini dapat dijelaskan dengan cara:
  • Ketimpangan terus terjadi di Indonesia karena tidak adanya kelembagaan yang mengatur jelas bagaimana dana modal dan pengaturan upah terhadap tenaga kerja. UMR berjalan bersamaan dengan inflasi sehingga menyebabkan tidak adanya perubahan dalam kemungkinan membeli barang masyarakat.
  • Masalah dana modal yang telah diliberalisasi oleh pemerintah di reformasi ekonomi, tanpa kebijakan kelembagaan justru hanya berputar ke sesama pemilik modal tanpa menumbuhkan investasi yang signifikan.
  • Pengangguran terbuka secara sistematis menunjukkan penurunan, tetapi jumlah pekerja yang tergolong setengah menganggur masih sangat besar, diperkirakan mencapai 40 juta jiwa.

Sumber: Yustika, Ahmad Erani. 2013. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan. Jakarta: Erlangga.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments