In Curhat Flash Fiction

Gagal

Ketika argumen-argumen itu keluar dari celah bibirmu dengan segenggam emosi didalamnya,

Ketika kalimat-kalimat tajam itu meluncur dari bibirmu begitu saja,

Apakah kamu pernah berpikir sebelum mengatakannya pada dia? Apa kamu pernah sedikit saja memikirkan bagaimana perasaannya? Bagaimana reaksinya bila mendengarnya?

Kalian memang sering berbeda pendapat, kan? Sangat sering. Dua kepala dengan berbeda pemahaman, berbeda prinsip. Sering sekali bertumbukan begitu saja, bahkan dalam masalah sekecil apapun.

Tapi, kenapa akhir-akhir ini sikapmu begitu sensitif? Sebelum-sebelumnya, sikapmu begitu menyenangkan, setiap masalah selalu berakhir dengan baik, meskipun emosimu selalu mendominasi, untunglah dia masih bisa menggunakan otaknya untuk menghadapimu.

Sekarang, dia lelah. Lelah menghadapimu yang terus-menerus mengedepankan emosi. Lelah menghadapimu yang sulit sekali diajak bicara baik-baik. Lelah menghadapimu yang menolak mendengar pendapatnya.

Hari keempat bulan ketujuh. Siang, dua belas dua puluh.

Hatinya hancur. Melebur bersama air matanya yang sesaat kemudian mengalir deras. Didepan cermin yang tergantung kokoh di dinding, terpantul wajahnya yang putus asa. Sembab. Hancur. Rambut panjangnya acak-acakan, lelah berpikir mencari jalan keluar dari labirin emosimu.

Semuanya karena kalimat itu. Satu kalimat yang kamu luncurkan. Kalimat pertama darimu yang mampu menggoreskan luka dalam di hatinya.

Mendengarnya, ia lemas. Perjuangannya selama ini seakan hancur. Sia-sia. Percuma, pikirnya. Satu kalimat itu sudah membuktikan bahwa kamu tidak pernah mendengarkanku. Menghargai pendapatku walau sedikit, itupun tidak. Apalagi memikirkannya.

Ia tidak menyangka kalau semuanya akan menjadi seburuk ini. Hanya sebuah masalah kecil. Sebuah masalah kecil yang apabila bercampur emosi, akan membesar. Dan akan menjadi sangat besar.

Mau kamu apa?

Aku harus apa?

Salah aku apa?

Kenapa kamu begini?

(Diatas, adalah pertanyaan-pertanyaan yang sampai sekarang belum ia temukan jawabannya darimu)

"Kamu egois." katamu. Iya, aku egois. Pikirnya. Tapi, apa kamu pernah berkaca? Bukannya dirimu sama egoisnya denganku?

"Kamu posesif." Ya, aku memang sedikit posesif, aku hanya ingin menjagamu, oke? Tidak lebih. Tapi, bukannya kita memang sama-sama posesif?

Lucu, ia tertawa di sela isaknya. Ia jadi teringat sesuatu. Biasanya orang-orang akan berkata,

"Perempuan selalu benar."

Tidak, ia menyanggah stereotip itu.

"Dalam kasusku, lelaki selalu benar."

.
.
.
.
Mungkin sekarang ia berpikir seperti itu.
Aku gagal memahamimu.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments