In Flash Fiction

Ia.

"Astaga, kenapa ia begitu dingin?"

Rupanya yang manis mulai menunjukkan ekspresi kesal. Dua gigi susu depannya ia gunakan untuk menggigit bibir bawahnya yang terpoles lipgloss pink. Berusaha agar tidak mengacaukan imajinasinya yang sudah melayang, ia mengetuk-ngetukkan kedua ibu jarinya di tubuhku.

Aku tidak tahu apa yang sedang ia lakukan. Mungkin membalas pesan dari seseorang.

"Kamu lagi badmood?" Ia membaca tulisan yang baru saja ia ukir di tubuhku, memeriksa ejaan, mungkin? Lalu, dengan sedikit ragu, ia menekan setitik area di sisi kananku, kemudian menghela napas panjang.

Aku digeletakkannya begitu saja di sisi tubuhnya. Kulihat ia menyandarkan diri ke sofa lama yang kini sewarna kusam. Wajahnya tak terlihat dari jarak pandangku, aku tak tahu ia sedang memasang ekspresi apa sekarang.

Selalu begini.

Ketika mereka sedang bertengkar, aku dibuangnya membelakangi tubuhnya, seakan tidak mau melihatku lagi. Sekalipun aku bersuara, ia tidak akan menghadapku hingga batas waktu yang ia tentukan.

Ia sedang memberikan waktu untuk seseorang disana yang membuatnya kesal agar menginstrokspeksi dirinya sendiri sebelum ia sanggup memaafkan kesalahannya.

Gadis ini memang sangat sabar, ia tahu apa yang harus ia lakukan dan apa yang harus ia perbuat dengan berpikir matang-matang. Ia tahu kapan waktunya harus menegaskan seseorang, kapan harus berani marah walaupun dengan orang yang ia sayangi.

Meskipun hal itu menyakiti dirinya sendiri pada akhirnya.

Terkadang ia menarikan jemarinya di tubuhku sembari bercerita tentang kekesalannya. Terkadang tanpa sengaja ia tersenyum padaku, senang sekali. Ada pula saat dimana ia melemparku, memekik kegirangan sembari menutup mulutnya dengan telapak tangan. Pernah pula aku melihatnya mengetuk-ngetuk sembari menangis dalam diam.

Tapi pada akhirnya, ia akan kembali tersenyum. Dan satu hal yang paling kusuka, hampir setiap malam, sesaat sebelum ia menidurkanku, ia akan tersenyum padaku dan berbisik sembari menuliskan pesan untuk seseorang di ujung sana,

"Aku juga sayang kamu."

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Flash Fiction

Bangku Taman

Sore itu.

Hujan rintik-rintik. Aku melangkahkan kaki untuk berteduh di taman dekat sekolah.

Duduk di sebuah bangku taman yang terlindung dari tetes dingin itu, aku menyebar pandangan ke penjuru taman. Di bangku sebelahku seorang ibu tengah menyuapi anaknya yang duduk manis; seorang pria yang tengah mengisap tembakau; pemuda seumuranku yang tertunduk berkutat dengan layar handphonenya; dan wanita yang sibuk mondar-mandir sembari melirik arlojinya. Mungkin ia sedang dikejar waktu.

Hingga manik mataku jatuh pada sebuah bangku taman tak berpenghuni yang terletak di pojok. Tak terurus, tak diacuhkan.

Pikiranku terlempar ke dimensi lampau.

Ketika masih ada kita. Ketika masih ada tempatku untuk pulang. Ketika masih ada yang mau mendengar dan melihatku. Ketika masih ada yang mau menerimaku.

Kita terduduk disana. Berlatar rerumputan dan sinar terik matahari, saling melepas rindu. Bersua setelah lama tak jumpa. Saling bertukar cerita yang terlewat. Tertawa bersama, bertukar pandang, dan tersenyum malu-malu. Saling genggam dan menguatkan, lalu mengharu diam-diam.


Aku mengedip. Menahan air mata yang tanpa sadar menggenang. Telah kembali ke masa sekarang.

"Karena apa yang kita punya dapat menuntun kita menuju harapan."

Hujan masih jatuh dan kembali. Aku beranjak dari bangku itu, kemudian mengenakan tudung jaketku.

Berlari menembus hujan.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments