Paruh kedua tahun 2017.
Banyak berita beredar viral di media sosial. Narkoba dan kasus korupsi mungkin sudah biasa, namun, satu persoalan yang membuatku tercenung selama beberapa lama adalah topik mengenai bunuh diri.
Satu. Kemudian dua. Lalu tiga. Beberapa kejadian serupa dalam waktu berdekatan ini membuatku sedikit heran dan bingung; apa yang sebenarnya (para korban sekaligus pelaku) mereka inginkan?
Mungkin jawabannya adalah kebebasan.
Kebebasan dari apa?
Mereka terjerat dalam belenggu. Belenggu itu terbentuk dari orang-orang di sekitar mereka. Atau mungkin dari sebuah trauma. Rentetan itu kemudian membentuk sebuah teror dalam diri mereka. Sebuah ketakutan. Menjelma paranoia.
Aku tahu, dan aku setuju bahwa hidup ini berisi begitu banyak pahit dan manis. Banyak pil pahit yang harus kita telan demi sekotak manis yang begitu berarti. Apakah mereka juga berpikiran demikian? Kuharap iya.
Tapi mungkin tidak.
Ketakutan itu mengambil alih diri mereka, mendorong mereka hingga tenggelam dalam titik terbawahnya dan membiarkan mereka mati perlahan-lahan. Ketakutan itu menempel sampai tubuh mereka tertidur lelap dua meter di bawah tanah.
Mereka hanya ingin bebas dari segala ketakutan itu. Hingga akhir, itulah yang paling mengikat mereka. Mereka meminta bantuan, karena diri mereka sendiri tidak cukup untuk menghadapi ketakutan itu.
Namun, apa yang telah kita lakukan?
Menenggelamkan mereka semakin dalam hingga mereka enggan bernafas kembali.
Lalu, setelah mereka tiada, apa yang akan terjadi pada kita?
Pernah mendengar sebuah kalimat, "Bunuh diri itu menular"?
Benar saja. Cepat atau lambat ketakutan itu akan berpindah menghampirimu.
Each victim of suicide gives his act a personal stamp which expresses his temperament, the special conditions in which he is involved, and which, consequently, cannot be explained by the social and general causes of the phenomenon. [Emile Durkheim]