- Fase pertama, tujuan pembangunan perdesaan diarahkan dari semula pembangunan komunitas (1950-an) ke penekanan pertumbuhan usaha tani kecil (1960-an).
- Fase Kedua, pertumbuhan usaha tani kecil (1960-an) dilanjutkan kepada upaya pembangunan perdesaan yang terintegrasi (1960-an) melalui kebijakan transfer teknologi, mekanisasi, dan penyuluhan pertanian.
- Fase ketiga, pergeseran pembangunan perdesaan yang dipandu negara (1970-an) menuju liberalisasi pasar (1980-an) melalui kebijakan penyesuaian structural dan pasar bebas.
- Fase keempat, pembangunan perdesaan diarahakan untuk penguatan pendekatan proses, partisipasi, pemberdayaan, dan pelaku (1980-an dan 1990-an).
- Fase kelima, pentingnya penghidupan yang berkesinambungan sebagai sebuah kerangka kerja yang terintegrasi dalam pembangunan perdesaan (1990-an) ,di antaranya lewat penguatan kredit mikro, jaring pengaman perdesaan, dan peran perempuan dalam pembangunan.
- Fase keenam, menempatkan pembangunan perdesaan sebagai strategi untuk mengurangi kemiskinan (2000-an).
In Ekonomi Kelembagaan Sekolah
Pembangunan Perdesaan dan Kelembagaan Sektor Finansial
Posted on Sabtu, 16 November 2019
📜 Modal dan Pembangunan Perdesaan
Pedesaan dalam negara
berkembang sering di Interpretasikan sebagai penyumbang pendapatan negara di
sektor pertanian. Sementara itu dalam pengertian yang sempit, desa adalah suatu masyarakat
para petani yang mencukupi hidup sendiri (swasembada). Dengan gambaran tersebut, tidak
salah jika sebagian besar penduduk desa merupakan kelompok masyarakat miskin. Ciri
penting dari penduduk di pedesaan ini adalah masalah kepemilikan tanah. Tanah masih
merupakan dasar utama dari kesejahteraan dan kekuatan politik di wilayah dalam pertanian, dapat
dilihat dari tingkat keterlibatan rumah tangga tersebut dalam aktivitas lain dan mengamati
struktur pendapatan dari sumber-sumber yang lebih luas. Beberapa penulis menggunakan istilah
“household survival strategies” sebagai cara bagi penduduk desa untuk mengatasi masalah yang
muncul. Jumlah tenaga kerja yang tersedia akan berubah karena faktor kelahiran, kematian,
perkawinan, sakit, kehamilan, dan migrasi.
Menurut Boeke, dalam
penelitiannya tentang perekonomian Hindia-Belanda, perekonomian Indonesia
terbagi menjadi dua sektor yang tidak saling berhubungan, yaitu sektor tradisional dan
modern. Konsep dualisme ekonomi ini dapat dijelaskan dalam beberapa tahapan berikut:
📜 Sektor Finansial: Formal dan Informal
Pada umumnya, lembaga
keuangan di perdesaan bisa dibedakan dalam tiga jenis, yaitu lembaga keuangan formal,
lembaga keuangan semi-formal, dan lembaga keuangan informal. Lembaga keuangan formal
diatur dalam UU Perbankan dan disupervisi oleh bank sentral, bisa berupa bank pemerintah
maupun swasta. Bank semi-formal adalah perbankan yang tidak diatur dalam UU, tetapi disupervisi
dan diregulasi oleh agen (lembaga) pemerintah selain bank sentral. Lembaga keuangan
informal beroperasi di luar regulasi dan supervisi lembaga pemerintah (negara).
Lembaga keuangan informal bukan sekedar menyediakan uang (cash) untuk keperluan transaksi,
terkadang memberikan bantuan dalam bentuk barang (in-kind). Karakter yang fleksibel
membuat lembaga keuangan informal memiliki daya tahan yang kuat untuk hidup di wilayah
perdesaan.
Ciri penting dari lembaga
keuangan formal dan semi-formal adalah tipe kesepakatan dalam bentuk sistem
kontrak yang berisi tentang hak dan kewajiban dari masing-masing pihak, misalnya persyaratan
agunan (collateral), model pembayaran (repayment), dan sanksi (punishment) apabila
salah satu pihak ingkar terhadap kesepakatan. Sedangkan lembaga keuangan informal
bersifat sangat cair, hubungan antara kreditor dan debitor bersifat personal, dan nyaris tidak ada
persyaratan administrasi yang dibutuhkan. Dengan karakteristik tersebut, lembaga keuangan informal
lebih mudah diterima oleh masyarakat perdesaan.
Terdapat satu lembaga
keuangan lain di perdesaan yaitu lembaga keuangan swadaya (financial self-help
groups). Prinsipnya adalah adanya rotasi tabungan dan asosiasi kredit (rotating savings and
credit associations), anggota kelompok berkontribusi secara reguler memberikan dana kepada
salah satu atau beberapa anggota (sistem giliran) berdasarkan kesepakatan perputaran
atau tabungan dan kelompok kredit hal ini berguna untuk membangun kerjasama dana pinjaman
melalui pembagian modal (capital shares), tabungan dan pendapatan bersih dari intermediasi
antara penabung dan peminjam, dan menyediakan pinjaman berdasarkan tingkat bunga
eksplisit dan permintaan eksplisit dari semua anggota.
Pada negara lain terdapat
beragam lembaga keuangan yang beroperasi di perdesaan. Di Bangladesh dengan Grameen
Bank (GB) yang menyediakan kredit kepada masyarakat miskin perdesaan (rumah tangga
perdesaan yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar) agar terjadi perubahan kehidupan
ekonomi yang lebih baik. GB membuat pinjaman skala kecil (small loans) di wilayah
perdesaan melalui jaringan yang besar (large network) dari cabang-cabang dan jasa pelayanan
alternatif. Hal tersebut memberikan dua keuntungan yaitu membuka akses yang besar terhadap
kredit (karena tidak ada agunan) dan membebani masyarakat miskin dengan biaya bunga rendah
(dibandingkan lembaga keuangan informal).
📜 Desain Kelembagaan Sektor Finansial
Persoalan lembaga
keuangan di pedesaan bisa diidentifikasi dalam tiga aspek berikut. Yang pertama, masalah
akses kredit. Karakteristik masyarakat pedesaan dengan skala usaha kecil menyebabkan mereka
tidak memiliki aset yang mencukupi untuk digunakan sebagai agunan. Kedua, posisi
tawar dan informasi masyarakat pedesaan yang sangat rendah menyebabkan rawan
terhadap praktik manipulasi dan lembaga keuangan formal maupun semi formal. Ketiga, informasi
yang asimetris dari pemberi pinjaman atau kredit terhadap peminjam. Lembaga keuangan formal
hanya melihat agunan sebagai kriteria pemberian pinjaman, karena apabila terjad kasus
kegagalan mereka tetap tidak ada risiko kehilangan uang yang dipinjamkan dengan jalan mengeksekusi
agunan.
Kehadiran lembaga
keuangan informal dapat dilihat melalui 2 perspektif yang pertama pemikiran represi
keuangan yang beralasan bahwa pelaku keuangan informal memulai usaha sebagai akibat dari
regulasi pemerintah yang besar besaran terhadap sektor keuangan formal seperti kebijakan
penggunaan kredit langsung atau suku bunga ganda. Kedua pemikiran struktularis yang melihat
munculnya lembaga keuangan informal diluar motif ekonomi. Dari perfektif ini segmentasi
pasar terjadi bukan akibat regulasi pemerintah, tetapi karena kelembagaan keuangan
informal memang melayani kelompok sosial lain.
Debitur terutama yang
berskala kecil termasuk para petani memiliki posisi tawar yang rendah berhadapan dengan
kelembagaan keuangan informal (money lander) dan tengkulak misalnya dalam kasus
pengenaan suku bunga. Pelaku ekonomi skala kecil karena tidak memiliki opsi lain selain
lembaga keuangan informal akibat tidak memiliki atau keterbatasan akses kelembagaan
keuangan formal cenderung menerima berapapun tingkat suku bunga yang diberikan oleh pihak
informal. Dalam beberapa kasus, tingkat suku bunga itu bisa mencapai 50% perbulannya. Dengan
kata lain, tingkat bunga yang dikenakan mencapai 600% pertahun, berlipat-lipat dari
tingkat lembaga keuangan formal yang berkisar 10-20% pertahun.
Dari fakta diatas
menunjukkan bahwa kelemahan lembaga keuangan informal adalah menepatkan pelaku ekonomi
skala kecil dalam posisi yang tidak setara. Oleh karena itu isu yang harus ditangani bila
lembaga keuangan informal ini hendak dikembangkan adalah memperkuat posisi petani
pada saat berhadapan dengan lembaga keuangan informal atau pemerintah memberikan
regulasi batas bunga maksimal yang dapat dikenakan oleh lembaga keuangan informal pada
debitor kecil.
Dalam konteks lembaga
keuangan formal, kelemahan yang paling tampak adalah persyaratan agunan yang
berat dan birokrasi yang berbelit sehingga menyusahkan para petani untuk mendapatkan kredit.
Lembaga keuangan formal layak dikembangkan karena memiliki kelebihan seperti
pengenaan bunga kredit yang lebih rendah serta lembaga keuangan formal juga mengajari pelaku
usaha kecil membuat business plan untuk bekal keterampilan. Jadi yang harus diperbaiki dalam
lembaga keuangan formal adalah masalah penurunan nilai agunan dan pemangkasan birokrasi,
salah satu alternatifnya ialah pemerintah bisa menjadi penjamin agunan (collateral
guarantor) dari setiap kredit yang diajukan masyarakat pedesaan ke lembaga keuangan formal.
Lembaga keuangan informal memiliki kelebihan yaitu prosedur yang sederhana, tanpa
agunan, atau saling mengenal dan waktu pengembalian kredit yang fleksibel. Karakter ini
sangat cocok untuk pelaku ekonomi di pedesaan. Tetapi kelemahan utama lembaga keuangan
informal yakni tingkat bunga kredit yang sangat tinggi. Disini pemerintah dapat
mendesain regulasi dengan cara membatasi tingkat suku bunga atau memperluas akses
masyarakat miskin kepada kredit formal yang jangka panjangnya membuat lembaga keuangan informal
tertekan.
Ada dua langkah lain
untuk mengatasi masalah tersebut.
Pertama, mengaitkan lembaga keuangan informal dengan
lembaga keuangan formal, yang dimaksud asumsi ini adalah lembaga keuangan informal
bisa diajak bekerja sama sebagai channel link kredit dari lembaga keuangan formal di
pedesaan tentunya dengan konsekuensi memberikan kompensasi keuntungan kepada lembaga
keuangan informal tersebut. Dengan modal seperti ini, semua pihak relatif
diuntungkan.
Kedua, mendesain kelembagaan keuangan formal berdasarkan struktur atau hierarki
masyarakat pedesaan, operasi lembaga keuangan formal didesain dengan cara mengadopsi
nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat local seperti pengembangan BPR (bank perkreditan
rakyat). Dengan cara ini, dibutuhkan ketua LPD (kepala adat kelian) yang memiliki sikap jujur,
rela berkorban, memiliki integritas tinggi terhadap moral, tidak cacat di masyarakat. Hal ini
mengusung adat istiadat, misalnya masyarakat Bali percaya dengan karmaphala yaitu setiap
perbuatan akan menuai hasil yang sepadan.
Diluar itu, patut juga
ditelaah adanya perkembangan yang luar biasa terhadap lembaga keuangan mikro, meskipun
efek negative yang ditimbulkan juga tidak kalah banyak. Di seluruh dunia, pada periode
1998-2008, pertumbuhan lembaga keuangan mikro mencapai 474% dan jumlah nasabah melompat
1048% contoh dalam kasus pemerintah yang turun tangan terhadap lembaga keuangn informal
seperti pemerintah Zambia memberikan banyak paket kebijakan jaminan sosial yang
diperuntukkan untuk masyarakat miskin seperti manajemen kredit di sektor pertanian,
investasi infrastruktur dan jasa publik, transfer uang/pendapatan untuk kesejateraan publik,
subsidi makanan, dan program peningkatan kesempatan kerja. Pelaku program itu tidak hanya
agen pemerintah tetapi juga lembaga non pemerintah dan sektor privat atau perusahaan. Meskipun
sebagian besar anggaran berasal dari proyek pemerintah tetapi program terssebut ada
yang lebih baik ditangani oleh non pemerintah seperti program pengawasan.
Sumber: Yustika, Ahmad Erani. 2013. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan. Jakarta: Erlangga.
Pembangunan Perdesaan dan Kelembagaan Sektor Finansial
Asty Annisawati
Sabtu, November 16, 2019
Asty Annisawati
Integer sodales turpis id sapien bibendum, ac tempor quam dignissim. Mauris feugiat lobortis dignissim. Aliquam facilisis, velit sit amet sagittis laoreet, urna risus porta nisi, nec fringilla diam leo quis purus.
Related Articles
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 wanderer:
Posting Komentar