📜 Perspektif Krisis Ekonomi
Ada dua alasan
menempatkan krisis 1997/1998 sebagai titik pijak mengkaji ulang perekonomian nasional, yaitu:
- Krisis sangat dahsyat sehingga
menghancurkan seluruh sendi perekonomian, pemicunya dari sisi
moneter, khususnya nilai tukar. Krisis itu meruntuhkan bangunan sektor rill yang
berakibat pertumbuhan ekonomi terperosok hingga minus 13,1% pada 1998 (Nasution,
2002:158)
- Setelah krisis tersebut,
perekonomian nasional menjadi lebih ramah kepada pasar terbuka, dan
terdesentralisasi.
Sejak dekade 1980-an
dinamika perekonomian berjalan dengan cepat. Hal ini terjadi di negara maju maupun
berkembang. Pertengahan tahun 1997 krisis ekonomi menyerang wilayah Asia dan terus merembet
ke negara-negara lainnya (Stiglitz, 2004:5). Pemicu krisis 1997/1998. Pertama, pandangan yang
beragumentasi bahwa fundamental ekonomi yang rapuh dan inkonsistensi kebijakan
sebagai sumber utama krisis “first generation model” dikembangkan oleh Krugman (1979) serta
Flood dan Garber (1986) yang menjelaskan krisis mata uang sebagai hasil dari
inkonsistensi fundamental dalam memformulasikan kebijakan ekonomi domestik. Kedua,
keyakinan bahwa sumber krisis adalah kepanikan yang terjadi di sektor keuangan yang berinteraksi
dengan ekspektasi pelaku ekonomi sehingga berpengaruh langsung terhadap kebijakan
makroekonomi “second generation model” diusung oleh Obstfeld (1996) memberi penjelasan
deskripsi generik hubungan teoretis antara model makroekonomi dengan ekspektasi rasional, di
mana diyakini ekspektasi yang terjadi di pasar berpengaruh secara langsung terhadap
keputusan membuat kebijakan ekonomi (lihat juga Roubini dan Mihm, 2010:29).
Pada kasus Indonesia,
pandangan first generation model dapat dilacak kebenarannya setelah melihat
fundamental ekonomi nasional. Sebagian besar perbankan dimiliki oleh konglomerat yang
memanfaatkan bank tersebut untuk membiayai perusahaan satu induknya, sehingga kerap melanggar
regulasi “legal lending limit”. BUMN juga dipaksa melakukan penyimpangan untuk
memberi ongkos proyek pemerintah yang studi kelayakannya tidak jelas maupun proyek yang
beresiko tinggi.
Second generation model,
pada November 1997 krisis ekonomi di Indonesia tidak akan menyebar secara cepat dan
mengalami pendalaman yang parah bila pemerintah tidak mengambil keputusan
melikuidasi 16 bank (sesuai anjuran IMF), IMF merasa bank-bank tersebut tergolong kecil,
hanya memberikan kontribusi sekitar 2,5% dari total aset sektor perbankan sehingga
dipastikan tidak akan menciptakan komplikasi masalah yang berlebihan (Indrawati, 2002:582).
📜 Reformasi Ekonomi Terbalik
Reformasi Ekonomi
terbalik adalah pemerintah melakukan perombakan pada level makro ekonomi terlebih
dulu dan hal tersebut dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada saat krisis ekonomi 1997/1998
dan hal tersebut serupa diterapkan di negara-negara Eropa Timur. Proyek reformasi ekonomi
dijajaki sejak krisis ekonomi politik pada 1997/1998. Dalam implementasinya terdapat
dua kubu yakni kubu Asia dan kubu Eropa Timur. Dalam mendesain perbaikan kinerja
perusahaan, khususnya perlakuan terhadap BUMN, pendekatan Asia lebih banyak menempuh
upaya-upaya perluasan otonomi dan akuntabilitas. Negara Eropa Timur lebih menyukai cara
privatisasi untuk mereformasi kinerja BUMN. Negara-negara Asia menganggap yang
diperlukan sebuah korporasi untuk mengembangkan diri adalah adanya otonomi dan
akuntabilitas, bukan terletak pada masalah kepemilikannya. Apakah dipunyai oleh negara atau swasta.
Negara-negara Eropa Timur memandang pasar (swasta) akan lebih mampu secara efektif dan
efisien memajukan sebuah perusahaan dibandingkan apabila dikelola oleh negara. Reformasi ekonomi
terbalik pada situasi Indonesia dimana:
- Pemerintah mengubah
secara drastis hak kepemilikan sumber daya ekonomi menuju kepemilikan swasta
termasuk sumber daya ekonomi yang seharusnya dikuasai oleh negara.
Kontrol harga dilepas
satu per satu, khususnya yang berkenaan dengan komoditas pertanian, padahal
kelembagaan produksi dan distribusi belum sepenuhnya disentuh pemerintah.
Liberalisasi dijalankan
secara ekstensif, baik di sektor perdagangan maupun investasi asing (Kuncoro dan
Resosudarmo, 2006:350). Indeks keterbukaan pasar keuangan Indonesia berada pada
posisi kedua tertinggi setelah Singapura pada 2006. Sebaliknya, pasar keuangan di China
dan India sangat ketat.
Strategi privatisasi
lebih dipilih pemerintah untuk membangun kultur korporasi dan efisiensi BUMN.
Pemerintah meyakini sektor swasta (domestik atau asing) lebih mampu memperbaiki kinerja
BUMN yang sedang sekarat.
Terdapat dua argumen
penting kegagalan sebagian program reformasi ekonomi di Indonesia (Tian, 2001:387;
Kherallah dan Kirsten, 2001:4):
Analisis yang fokus pada pilihan dan urutan kebijakan reformasi ekonomi. Pendekatan ini meyakini bahwa pilihan kebijakan reformasi antarnegara tidak bisa diseragamkan karena masing-masing negara memiliki karakteristik dan problem ekonomi yang berlainan.
Lemahnya desain dan penegakan kelembagaan sebagai 'kaki' dari kebijakan yang telah diproduksi. Pendekatan ini pada level makro berkonsentrasi pada penyusunan kerangka hukum, ekonomi, dan politik agar kebijakan yang diproduksi bisa menjawab tujuan yang ditargetkan. Pada level mikro, pendekatan kelembagaan ini secara spesifik mendesain aturan main yang memungkinkan semua pelaku ekonomi dapat bersaing atau bekerja sama secara adil.
Ada lima implikasi serius dari kebijakan reformasi ekonomi:
- Liberalisasi keuangan hanya menjadi instrumen menafkahi kepentingan sektor keuangan itu sendiri bukan menumbuhkan sektor riil. Sebagian dana perbankan (domestik maupun asing) tidak disalurkan dalam bentuk kredit, tapi berbentuk SBI dan SUN.
- Harga komoditas melambung, turunnya nilai tukar pertanian karena kontrol harga petani dilepas dan kontrol harga dipegang oleh tengkulak
- Impor terus bertambah dan sektor informal semakin membengkak
- Kalahnya pelaku ekonomi tradisional
- terjadinya ketimpangan pendapatan meningkat seiring laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Rasio Gini melesat 0,41
pada 2011. Pola ini mirip dengan peristiwa di AS, ketika kebijakan pasca krisis
ekonomi 2008 sangat menguntungkan lapisan penduduk paling atas (1% penduduk terkaya)
sehingga membuat ketimpangan pendapatan melonjak (Stiglitz, 2012:3). Lima implikasi ini
merupakan “cost of economic reform” yang harus ditanggung masyarakat.
📜 Kerapuhan Kelembagaan Makro
Kelembagaan ekonomi yang
bagus akan mendorong masyarakat berinvestasi, mengakumulasi modal, dan
mengembangkan teknologi baru sehingga masyarakat menjadi lebih sejahtera. Ada tiga
aspek reformasi kelembagaan pada level makro (institutional environment) yang kurang
disentuh pada saat menjalankan reformasi ekonomi, yakni kelembagaan reformasi
administrasi (administrative reform), sistem hukum (legal system reform) dan politik
(political reform) Chowdhury, 1999:389).
Faktor penyebab terjadi
kerapuhan adalah eksternalitas dari perusahaan, barang publik, praktik monopoli dan
oligopoli. Dalam pandangan klasik hal ini penyebab kegagalan pasar akibat ketidakjelasan hak
kepemilikan maka kepastiannya dijamin melalui sistem legal yang kuat mencegah munculnya
pelaku ekonomi yang berbuat curang, penjiplakan, pembajakan. Spirit reformasi ekonomi
adalah memberi tempat yang layak kepada pasar untuk menjalankan misi percepatan kegiatan
ekonomi dengan basis efisiensi.
Aspek reformasi
administrasi-birokrasi nyaris tidak disentuh dalam desain besar reformasi ekonomi di
Indonesia. Investasi yang terjadi di suatu negara bukan hanya fungsi dari tingkat suku bunga,
ekspektasi ekonomi, ketersediaan infrastruktur, ataupun pasokan kredit. Kasus Indonesia yakni,
ketidakmampuan sistem legal memproteksi investor dari perilaku menyimpang (opportunism)
pelaku ekonomi lainnya. Pencurian hak cipta, penjiplakan, dan pembajakan merupakan hal
yang jamak dalam keseharian kegiatan ekonomi, sementara sistem legal memproteksi
investor dari perilaku menyimpang. Implikasinya, insentif ekonomi untuk melakukan investasi
menjadi berkurang. Praktik ini menyebabkan rasio kredit terhadap PDB di Indonesia sangat
rendah dibandingkan negara-negara lain. Tabel 13.2 mewartakan rasio kredit terhadap PDB di
Indonesia hanya skitar 29,1% pada 2010, sangat jauh dibandingkan dengan Thailand (116,6%),
Malaysia (114,9%), Singapura (102,1%), dan Vietnam 125%).
📜 Kedangkalan Kelembagaan Mikro
Selain adanya kegagalan
untuk menciptakan perubahan kelembagaan makro yang menjadi enablin
environment perjalaan reformasi ekonomi, masalah kelembagaan juga muncul pada level mikro
(institutional arrangement). Reformasi ekonomi di Indonesia dapat menghasilkan stabilitas
mikroekonomi yang relatif bagus, namun meninggalkan residu yang tidak kalah gawat, yaitu
kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan pengangguran. Hal tersebut disebabkan oleh
faktor-faktor, yaitu:
- Meskipun dana dan banyak
kebijakan ekonomi sudah diproduksi untuk mengatasi masalah kemiskinan, namun
penurunan jumlah orang miskin tidak terjadi secara signifikan. Hal ini
dikarenakan pemerintah alpa merumuskan kebijakan langsung yang mengaitkan kelembagaan
dengan strategi pengurangan kemiskinan, tidak melalui penciptaan aturan main
(rules of the game).
Pertumbuhan ekonomi yang
stabil justru menjadi lahan subur bagi peningkatan ketimpangan. Hal tersebut
terjadi karena beberapa faktor. Pertama, adana tendensi kesnjangan antara inflasi
dan upah minimum yang semakin tipis. Kedua, liberalisasi keuangan hanya menjadi
instrumen memutar dana dari satu pemilik modal ke pemilik modal lainnya.
Pengangguran terbuka
secara sistematis menunjukkan penurunan, tetapi jumlah pekerja yang tergolong setengah
menganggur masih sangat besar.
Dalam perspektif kelembagaan, hal ini dapat dijelaskan dengan cara:
- Ketimpangan terus terjadi
di Indonesia karena tidak adanya kelembagaan yang mengatur jelas bagaimana
dana modal dan pengaturan upah terhadap tenaga kerja. UMR berjalan bersamaan
dengan inflasi sehingga menyebabkan tidak adanya perubahan dalam
kemungkinan membeli barang masyarakat.
Masalah dana modal yang
telah diliberalisasi oleh pemerintah di reformasi ekonomi, tanpa kebijakan
kelembagaan justru hanya berputar ke sesama pemilik modal tanpa menumbuhkan investasi
yang signifikan.
Pengangguran terbuka
secara sistematis menunjukkan penurunan, tetapi jumlah pekerja yang tergolong setengah
menganggur masih sangat besar, diperkirakan mencapai 40 juta jiwa.
Sumber: Yustika, Ahmad Erani. 2013. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan. Jakarta: Erlangga.
0 wanderer:
Posting Komentar