Revolusi Islam di Iran |
Perubahan kelembagaan berarti terjadi perubahan
dalam regulasi dan organisasi, perilaku, dan pola interaksi. Arah perubahan ini
disebabkan oleh meningkatnya perbedaan prinsip-prinsip dan pola umum dalam
kelembagaan yang saling berhubungan, sementara dalam waktu yang sama terjadi
peningkatan kebutuhan untuk melakukan integrasi dalam sistem sosial yang
kompleks.
Perubahan kelembagaan ini mendorong perubahan
kondisi, yang kemudian mendorong penyesuaian baru yang diperlukan melalui
faktor eksternal (feedback) dan
faktor internal (melalui internalisasi potensi produktivitas dan pemanfaatan
sumber daya untuk menciptakan keseimbangan baru). Tujuan dari perubahan ini
adalah untuk menginternalisasikan potensi produktivitas yang lebih besar dari
perbaikan pemanfaatan sumber daya yang secara simultan akan menciptakan
keseimbangan baru.
Perubahan kelembagaan merupakan hasil perjuangan
antara berbagai kelompok yang berharap mendapatkan pembagian lebih baik di
dalam pemanfaatan sumber daya dan distribusi pendapatan dan mereka yang
berusaha menghalangi. Salah satu contoh kasus perubahan kelembagaan adalah
ketika terjadinya revolusi pemerintahan Islam di Iran pada tahun 1979.
Iran dulunya merupakan negara yang identik dengan
budaya yang modern dan cenderung sekuler di bawah pemerintahan Shah Reza
Pahlevi. Sebenarnya, revolusi Islam yang terjadi di Iran merupakan sebuah anomali dari
proses modernisasi di
negara tersebut.
Selama 26 tahun berkuasa, Shah Pahlevi telah
melaksanakan beberapa revolusi yang mendorong tercapainya modernisasi. Salah satunya
adalah terjadinya Revolusi Putih yang merupakan sebuah proyek besar-besaran pada
tahun 1960. Di antara program Revolusi Putih adalah nasionalisasi sumber daya
air, pendidikan gratis, pemberantasan korupsi dan buta huruf, pemberian hak
mencoblos dalam pemilu untuk perempuan, dan banyak lagi. Namun di luar
kebijakan yang terbilang progresif ini, hitung-hitungan ekonomi nampak suram
bagi orang kecil.
Setelah itu, pertumbuhan ekonomi mencapai 8%, dengan
sepertiga pendapatannya berasal dari minyak. Celakanya, administrasi Shah yang
mengejar pertumbuhan mengabaikan pemerataan pendapatan. Dampaknya terasa ketika
inflasi meroket ketika boom minyak berakhir pada 1976. Kondisi ekonomi tersebut
memicu sebuah revolusi yang datang dari kelompok yang selama ini dianggap
terbelakang, yaitu para alim ulama. Kebijakan reformasi agraria mengancam
kepemilikan tanah yang selama ini menopang aktivitas-aktivitas keagamaan.
Ditambah dengan pemberlakuan undang-undang sekuler yang memungkinkan warga
non-muslim untuk memegang jabatan publik, beberapa dari mereka memutuskan turun
ke jalan.
Sebenarnya, pada awal tahun 1970-an kaum islamis
belum memegang peranan penting dalam gerakan anti-Shah. Afiliasi politik para
ulama tersebar: sebagian bersama kaum liberal, sebagian lagi konstitusionalis
atau bahkan marxis, dan yang lain memilih tidak berpolitik sama sekali.
Pendirian negara Islam adalah gagasan yang terdengar asing.
Ayatollah Khomeini, yang saat itu sedang
mengasingkan diri di Iraq karena tindakannya yang mengecam Shah, dari tanah
pengasingan ia rajin memberikan ceramah, termasuk tentang pokok-pokok
pemerintahan Islam, serta membangun kontak dengan aktivis-aktivis Ikhwanul
Muslimin dan militan Palestina yang ia dukung secara finansial. Ceramah-ceramah
itu kemudian direkam ke kaset dan disebarkan para pengikutnya yang rajin
bolak-balik menembus perbatasan. Hingga tahun-tahun berikutnya, ia terus
membuat komunike, kritik, dan polemik yang tidak saja ditujukan kepada
pemerintah tetapi juga kepada ulama-ulama dalam negeri untuk memenangkan
gagasan negara Islam—kendati belum terang detailnya—yang pada waktu itu belum
diterima secara umum.
Puncaknya, pada 1977, tatkala boom minyak mencapai
impasnya, inflasi melonjak drastis, pabrik-pabrik gulung tikar, dan angka
pengangguran naik, seluruh agitasi Khomeini yang tersebar melalui koran bawah
tanah dan kaset mulai diterima sebagai kebenaran oleh massa-rakyat. Ditambah lagi
dengan adanya pemakaman Mustofa Khomeini (putra Ayatullah) pesan yang
disampaikan semakin kuat, dan melawan kekuasaan Shah adalah jihad yang harus
dilaksanakan. Ayatullah Khomeini dinobatkan sebagai symbol untuk perlawanan.
Dengan keadaan yang semakin genting, Shah akhirnya
memutuskan untuk pergi ke Mesir tanpa pernah kembali. Pemboman, tembakan, dan
perlawanan terus terjadi di Tehran. Ketika Shah pergi, Khomeini kembali ke Iran
dengan ditemani oleh para penasihatnya dan juga jurnalis dari seluruh dunia. Kedatangannya
disambut hangat oleh seluruh masyarakat Iran. Dalam proses ini, Bargazan ditunjuk
menjadi presiden dan akan dibentuk konstitusi baru. Pihak Khomeini dan
pengikutnya menginginkan Islam sebagai dasar Negara, sementara pihak Bargazan dan
pengikutnya menginginkan demokrasi. Akhirnya, Islam menjadi nilai yang dominan
dengan pengaruh demokrasi. Khomeini diberikan jabatan pemimpin tertinggi. Struktur pemerintahan
Iran menyiratkan negara demokratis,
akan tetapi, ulama
memiliki peran yang krusial di dalamnya. Sebagai pemimpin tertinggi,
Khomeini memiliki kewenangan
yang sangat luas, bahkan melebihi presiden.
Dapat disimpulkan, kasus revolusi
Islam di Iran
pada 1979 ternyata memiliki
logika yang cukup berbeda. Kenyataannya,
tidak terjadi perkembangan
politik dalam arti positif
yang mampu mendukung
keberlangsungannya rezim. Terlebih lagi, Shah juga tidak berhasil
membangun komponen-komponen yang mendukung
berjalannya sistem, sehingga pada akhirnya, republik Islam muncul
menggantikan monarki Iran yang sudah berusia 2500 tahun.
IDENTIFIKASI
Adanya perubahan social ternyata mampu mendorong
terjadinya perubahan kelembagaan. Dalam kasus ini, perubahan kelembagaan dipicu
oleh adanya ketidakpuasan atas kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Shah
Reza Pahlevi, meskipun kebijakan yang diterapkannya mendorong Iran menuju modernisasi.
Adanya ketimpangan pendapatan dan hilangnya lahan-lahan pertanian yang menyebabkan
masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani harus pergi menuju kota
untuk melakukan urbanisasi, ternyata mendorong munculnya perlawanan dari kelompok
alim ulama.
Ayatullah Khomeini memimpin gerakan pemogokan di
seluruh negeri yang disebabkan karena Shah Reza Pahlevi berhasil merancang RUU
yang menyatakan bahwa dewan yang baru dipilih tidak diwajibkan bersumpah dengan
menggunakan Al-Quran. Pemogokan ini menimbulkan penolakan pada RUU tersebut.
Khomeini kemudian menyampaikan sebuah khotbah yang menuduh Iran berkolusi
dengan Israel dan mengecam Shah Reza Pahlevi, menyebabkan penangkapan yang
dilakukan oleh polisi rahasia Iran, SAVAK.
Penangkapan Khomeini oleh SAVAK ini menyebabkan
kerusuhan besar-besaran dan menimbulkan reaksi kekerasan oleh pihak aparat
keamanan yang menyebabkan kematian ribuan orang.
Adanya revolusi islam ini menyebabkan perubahan yang
sangat drastic pada Iran. Sebelumnya, pada pemerintahan Shah Reza Pahlevi, system
pemerintahan adalah monarki kuno, yang telah berlangsung selama 2500 tahun. Dengan
adanya revolusi Islam ini, system pemerintahan menjadi ajaran teokrasi (velayat-e faqih) yang berupa sebuah
Republik Islam. Revolusi ini terjadi dalam dua tahapan. Revolusi tahap pertama
bermula pada tahun 1979 yang dipimpin oleh pihak liberal, golongan haluan kiri,
dan para pemuka agama. Revolusi tahap kedua terjadi ketika Khomeini naik menjadi
pemimpin besar revolusi.
Dampak dari adanya revolusi ini beberapa diantaranya
adalah terjadinya kenaikan jumlah penduduk karena adanya larangan untuk melakukan
program keluarga berencana, kemudian menurunnya pertumbuhan ekonomi karena
adanya embargo minyak Uni Eropa dan sanksi yang diberikan oleh AS terhadap bank
sentral Iran, dan juga menurunnya jumlah bioskop (sebelum revolusi berjumlah
450 bioskop, dan pada tahun 2015 turun menjadi 380 bioskop) dan buku yang
diproduksi (sebelum revolusi, rata-rata buku yang dicetak per judul adalah
7.000 kopi, sementara kini rata-ratanya turun menjadi hanya 200 kopi).
REFERENSI
Pramono, Budi. 2017. Perubahan Politik Oleh Faktor Agama. Jurnal Kajian Politik dan
Masalah Pembangunan.
https://news.detik.com/bbc-world/d-4423984/beda-iran-sebelum-dan-sesudah-revolusi-tahun-1979
0 wanderer:
Posting Komentar