Revolusi Islam di Iran |
Studi Kasus: Perubahan Kelembagaan yang Didorong oleh Perubahan Modal Sosial
Posted on Selasa, 26 November 2019
Perubahan kelembagaan berarti terjadi perubahan
dalam regulasi dan organisasi, perilaku, dan pola interaksi. Arah perubahan ini
disebabkan oleh meningkatnya perbedaan prinsip-prinsip dan pola umum dalam
kelembagaan yang saling berhubungan, sementara dalam waktu yang sama terjadi
peningkatan kebutuhan untuk melakukan integrasi dalam sistem sosial yang
kompleks.
Perubahan kelembagaan ini mendorong perubahan
kondisi, yang kemudian mendorong penyesuaian baru yang diperlukan melalui
faktor eksternal (feedback) dan
faktor internal (melalui internalisasi potensi produktivitas dan pemanfaatan
sumber daya untuk menciptakan keseimbangan baru). Tujuan dari perubahan ini
adalah untuk menginternalisasikan potensi produktivitas yang lebih besar dari
perbaikan pemanfaatan sumber daya yang secara simultan akan menciptakan
keseimbangan baru.
Perubahan kelembagaan merupakan hasil perjuangan
antara berbagai kelompok yang berharap mendapatkan pembagian lebih baik di
dalam pemanfaatan sumber daya dan distribusi pendapatan dan mereka yang
berusaha menghalangi. Salah satu contoh kasus perubahan kelembagaan adalah
ketika terjadinya revolusi pemerintahan Islam di Iran pada tahun 1979.
Iran dulunya merupakan negara yang identik dengan
budaya yang modern dan cenderung sekuler di bawah pemerintahan Shah Reza
Pahlevi. Sebenarnya, revolusi Islam yang terjadi di Iran merupakan sebuah anomali dari
proses modernisasi di
negara tersebut.
Selama 26 tahun berkuasa, Shah Pahlevi telah
melaksanakan beberapa revolusi yang mendorong tercapainya modernisasi. Salah satunya
adalah terjadinya Revolusi Putih yang merupakan sebuah proyek besar-besaran pada
tahun 1960. Di antara program Revolusi Putih adalah nasionalisasi sumber daya
air, pendidikan gratis, pemberantasan korupsi dan buta huruf, pemberian hak
mencoblos dalam pemilu untuk perempuan, dan banyak lagi. Namun di luar
kebijakan yang terbilang progresif ini, hitung-hitungan ekonomi nampak suram
bagi orang kecil.
Setelah itu, pertumbuhan ekonomi mencapai 8%, dengan
sepertiga pendapatannya berasal dari minyak. Celakanya, administrasi Shah yang
mengejar pertumbuhan mengabaikan pemerataan pendapatan. Dampaknya terasa ketika
inflasi meroket ketika boom minyak berakhir pada 1976. Kondisi ekonomi tersebut
memicu sebuah revolusi yang datang dari kelompok yang selama ini dianggap
terbelakang, yaitu para alim ulama. Kebijakan reformasi agraria mengancam
kepemilikan tanah yang selama ini menopang aktivitas-aktivitas keagamaan.
Ditambah dengan pemberlakuan undang-undang sekuler yang memungkinkan warga
non-muslim untuk memegang jabatan publik, beberapa dari mereka memutuskan turun
ke jalan.
Sebenarnya, pada awal tahun 1970-an kaum islamis
belum memegang peranan penting dalam gerakan anti-Shah. Afiliasi politik para
ulama tersebar: sebagian bersama kaum liberal, sebagian lagi konstitusionalis
atau bahkan marxis, dan yang lain memilih tidak berpolitik sama sekali.
Pendirian negara Islam adalah gagasan yang terdengar asing.
Ayatollah Khomeini, yang saat itu sedang
mengasingkan diri di Iraq karena tindakannya yang mengecam Shah, dari tanah
pengasingan ia rajin memberikan ceramah, termasuk tentang pokok-pokok
pemerintahan Islam, serta membangun kontak dengan aktivis-aktivis Ikhwanul
Muslimin dan militan Palestina yang ia dukung secara finansial. Ceramah-ceramah
itu kemudian direkam ke kaset dan disebarkan para pengikutnya yang rajin
bolak-balik menembus perbatasan. Hingga tahun-tahun berikutnya, ia terus
membuat komunike, kritik, dan polemik yang tidak saja ditujukan kepada
pemerintah tetapi juga kepada ulama-ulama dalam negeri untuk memenangkan
gagasan negara Islam—kendati belum terang detailnya—yang pada waktu itu belum
diterima secara umum.
Puncaknya, pada 1977, tatkala boom minyak mencapai
impasnya, inflasi melonjak drastis, pabrik-pabrik gulung tikar, dan angka
pengangguran naik, seluruh agitasi Khomeini yang tersebar melalui koran bawah
tanah dan kaset mulai diterima sebagai kebenaran oleh massa-rakyat. Ditambah lagi
dengan adanya pemakaman Mustofa Khomeini (putra Ayatullah) pesan yang
disampaikan semakin kuat, dan melawan kekuasaan Shah adalah jihad yang harus
dilaksanakan. Ayatullah Khomeini dinobatkan sebagai symbol untuk perlawanan.
Dengan keadaan yang semakin genting, Shah akhirnya
memutuskan untuk pergi ke Mesir tanpa pernah kembali. Pemboman, tembakan, dan
perlawanan terus terjadi di Tehran. Ketika Shah pergi, Khomeini kembali ke Iran
dengan ditemani oleh para penasihatnya dan juga jurnalis dari seluruh dunia. Kedatangannya
disambut hangat oleh seluruh masyarakat Iran. Dalam proses ini, Bargazan ditunjuk
menjadi presiden dan akan dibentuk konstitusi baru. Pihak Khomeini dan
pengikutnya menginginkan Islam sebagai dasar Negara, sementara pihak Bargazan dan
pengikutnya menginginkan demokrasi. Akhirnya, Islam menjadi nilai yang dominan
dengan pengaruh demokrasi. Khomeini diberikan jabatan pemimpin tertinggi. Struktur pemerintahan
Iran menyiratkan negara demokratis,
akan tetapi, ulama
memiliki peran yang krusial di dalamnya. Sebagai pemimpin tertinggi,
Khomeini memiliki kewenangan
yang sangat luas, bahkan melebihi presiden.
Dapat disimpulkan, kasus revolusi
Islam di Iran
pada 1979 ternyata memiliki
logika yang cukup berbeda. Kenyataannya,
tidak terjadi perkembangan
politik dalam arti positif
yang mampu mendukung
keberlangsungannya rezim. Terlebih lagi, Shah juga tidak berhasil
membangun komponen-komponen yang mendukung
berjalannya sistem, sehingga pada akhirnya, republik Islam muncul
menggantikan monarki Iran yang sudah berusia 2500 tahun.
IDENTIFIKASI
Adanya perubahan social ternyata mampu mendorong
terjadinya perubahan kelembagaan. Dalam kasus ini, perubahan kelembagaan dipicu
oleh adanya ketidakpuasan atas kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Shah
Reza Pahlevi, meskipun kebijakan yang diterapkannya mendorong Iran menuju modernisasi.
Adanya ketimpangan pendapatan dan hilangnya lahan-lahan pertanian yang menyebabkan
masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani harus pergi menuju kota
untuk melakukan urbanisasi, ternyata mendorong munculnya perlawanan dari kelompok
alim ulama.
Ayatullah Khomeini memimpin gerakan pemogokan di
seluruh negeri yang disebabkan karena Shah Reza Pahlevi berhasil merancang RUU
yang menyatakan bahwa dewan yang baru dipilih tidak diwajibkan bersumpah dengan
menggunakan Al-Quran. Pemogokan ini menimbulkan penolakan pada RUU tersebut.
Khomeini kemudian menyampaikan sebuah khotbah yang menuduh Iran berkolusi
dengan Israel dan mengecam Shah Reza Pahlevi, menyebabkan penangkapan yang
dilakukan oleh polisi rahasia Iran, SAVAK.
Penangkapan Khomeini oleh SAVAK ini menyebabkan
kerusuhan besar-besaran dan menimbulkan reaksi kekerasan oleh pihak aparat
keamanan yang menyebabkan kematian ribuan orang.
Adanya revolusi islam ini menyebabkan perubahan yang
sangat drastic pada Iran. Sebelumnya, pada pemerintahan Shah Reza Pahlevi, system
pemerintahan adalah monarki kuno, yang telah berlangsung selama 2500 tahun. Dengan
adanya revolusi Islam ini, system pemerintahan menjadi ajaran teokrasi (velayat-e faqih) yang berupa sebuah
Republik Islam. Revolusi ini terjadi dalam dua tahapan. Revolusi tahap pertama
bermula pada tahun 1979 yang dipimpin oleh pihak liberal, golongan haluan kiri,
dan para pemuka agama. Revolusi tahap kedua terjadi ketika Khomeini naik menjadi
pemimpin besar revolusi.
Dampak dari adanya revolusi ini beberapa diantaranya
adalah terjadinya kenaikan jumlah penduduk karena adanya larangan untuk melakukan
program keluarga berencana, kemudian menurunnya pertumbuhan ekonomi karena
adanya embargo minyak Uni Eropa dan sanksi yang diberikan oleh AS terhadap bank
sentral Iran, dan juga menurunnya jumlah bioskop (sebelum revolusi berjumlah
450 bioskop, dan pada tahun 2015 turun menjadi 380 bioskop) dan buku yang
diproduksi (sebelum revolusi, rata-rata buku yang dicetak per judul adalah
7.000 kopi, sementara kini rata-ratanya turun menjadi hanya 200 kopi).
REFERENSI
Pramono, Budi. 2017. Perubahan Politik Oleh Faktor Agama. Jurnal Kajian Politik dan
Masalah Pembangunan.
https://news.detik.com/bbc-world/d-4423984/beda-iran-sebelum-dan-sesudah-revolusi-tahun-1979
In Ekonomi Kelembagaan Sekolah
Orde Baru VS Reformasi: Mana Lebih Baik?
Posted on Sabtu, 23 November 2019
Tahun demi tahun berlalu. Zaman perlahan berganti. Masyarakat
terus bergerak. Namun, apakah pemerintahan kita juga ikut bergerak?
Indonesia telah mengalami sejarah panjang meskipun
umurnya masih cukup hijau. Mulai dari penjajahan, kemerdekaan, orde lama, orde
baru, hingga reformasi. Mulai dari perjuangan menggunakan bambu runcing hingga
perlawanan melalui jemari. Mulai dari era peperangan dan perjuangan
mempertahankan kemerdekaan, hingga kini globalisasi.
Apa saja yang berubah? Apakah perubahan ini menuju
arah yang lebih baik atau buruk?
INFLASI
Inflasi di Indonesia pada orde baru cenderung
berfluktuasi, hal ini dikarenakan adanya pengaruh kenaikan harga beras yang
tinggi karena musim kemarau yang panjang. Selain itu juga karena turunnya harga
minyak dunia yang menyebabkan kenaikan harga di dalam negeri. Inflasi memuncak
pada tahun 1998 dimana nilai tukar benar-benar jatuh dan menyebabkan reformasi.
Kemudian, pada 1999 laju inflasi langsung turun dan hanya sebesar 2% . Ini juga
merupakan angka inflasi terendah setelah berlangsungnya reformasi. Dalam 20
tahun terakhir, inflasi tertinggi tercatat pada 2005, yakni mencpaai 17,1%
dampak dari kenaikan harga bahan bakar minyak di era kepemimipinan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono.
PERTUMBUHAN
EKONOMI
Pertumbuhan
ekonomi pada orde baru cenderung tinggi dan berfluktuasi. Sejak 1961, ekonomi
Indonesia secara umum selalu mengalami pertumbuhan dan hanya dua kali mengalami
kontraksi. Pertumbuhan PDB Indonesia tertinggi dicatat pada 1968 atau awal era
Orde Baru, yakni mencapai 10,92%. Sementara di era reformasi, pertumbuhan
ekonomi tertinggi dicatat pada 2007, yaitu sebesar 6,35%. Namun, ekonomi
Indonesia juga pernah mengalami kontraksi atau pertumbuhan negatif, yakni pada
1963 di era Orde Lama dan pada 1998 saat terjadi krisis finansial Asia.
Terjadinya krisis yang dibarengi dengan aksi kerusuhan di seluruh tanah air
membuat ekonomi Indonesia mengalami kontraksi sangat dalam hingga -13,13%. Apabila
dibandingkan, pertumbuhan pada orde baru lebih tinggi dan berfluktuatif, tidak
seperti era reformasi yang cenderung stagnan pada angka 5%.
KETIMPANGAN
Tingkat
ketimpangan pendapatan pada orde baru lebih rendah daripada era reformasi. Pada
era orde baru, tingkat ketimpangan hanya berkisar antara 0,32 hingga 0,35. Tetapi
mulai reformasi hingga saat ini, ketimpangan semakin tinggi, bahkan angkanya
mencapai 0,42. Hal ini diyakini karena pada zaman orde baru, pemerintah mampu
mengendalikan distribusi pendapatan agar tetap merata sehingga tidak terjadi
ketimpangan pendapatan. Apabila dilihat dari grafik sebelumnya, yaitu
pertumbuhan ekonomi, dapat dilihat bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi (pada
masa orde baru) ternyata tidak meningkatkan ketimpangan pendapatan di
masyarakat. Peran pemerintah memegang andil tinggi dalam hal ini melalui
kebijakan-kebijakannya.
ANGKATAN
KERJA
Angkatan
kerja Indonesia terus meningkat seiring dengan jumlah penduduk yang terus
meningkat pula. Demikian pula jumlah angkatan kerja yang bekerja mencatat
kenaikan dari tahun ke tahun. Angkatan kerja pada 1986 baru mencapai 67 juta
jiwa kemudian pada 2002 telah menembus 100 juta jiwa.
KEMISKINAN
Jumlah
penduduk miskin terus menurun sejak tahun 1970. Pada 1970, jumlah penduduk
miskin mencapai 60% dari total populasi Indonesia dengan jumlahnya mencapai
lebih dari 70 juta jiwa. Pada 1996, angka kemiskinan turun menjadi 11,3 persen
dari populasi dengan jumlah penduduk miskin menjadi tinggal 27,2 juta jiwa.
Namun, akibat krisis finansial 1997-1998, angka kemiskinan meningkat menjadi
24,2 persen dari populasi dengan penduduk miskin mencapai 49,5 juta jiwa. Setelah
krisis berlalu, angka kemiskinan kembali menunjukkan tren penurunan dan
mencapai level terendahnya pada September 2017 sebesar 10,12 persen dari total
populasi atau sebanyak 26,58 juta jiwa.
Dari beberapa pembahasan diatas, dapat kita simpulkan melalui tabel di bawah ini:
KATEGORI
|
ORDE BARU
|
REFORMASI
|
INFLASI
|
fluktuatif
|
Stabil
|
PERTUMBUHAN
EKONOMI
|
Tinggi dan fluktuatif
|
Stagnan (kisaran 5%)
|
KETIMPANGAN
|
Berkisar angka 0,32-0,35
|
Berkisar angka 0,35-0,40
|
ANGKATAN
KERJA
|
Tren Meningkat
|
Tren Meningkat
|
KEMISKINAN
|
Turun
|
Turun
|
Sumber:
In Ekonomi Kelembagaan Sekolah
Pembangunan Perdesaan dan Kelembagaan Sektor Finansial
Posted on Sabtu, 16 November 2019
📜 Modal dan Pembangunan Perdesaan
Pedesaan dalam negara
berkembang sering di Interpretasikan sebagai penyumbang pendapatan negara di
sektor pertanian. Sementara itu dalam pengertian yang sempit, desa adalah suatu masyarakat
para petani yang mencukupi hidup sendiri (swasembada). Dengan gambaran tersebut, tidak
salah jika sebagian besar penduduk desa merupakan kelompok masyarakat miskin. Ciri
penting dari penduduk di pedesaan ini adalah masalah kepemilikan tanah. Tanah masih
merupakan dasar utama dari kesejahteraan dan kekuatan politik di wilayah dalam pertanian, dapat
dilihat dari tingkat keterlibatan rumah tangga tersebut dalam aktivitas lain dan mengamati
struktur pendapatan dari sumber-sumber yang lebih luas. Beberapa penulis menggunakan istilah
“household survival strategies” sebagai cara bagi penduduk desa untuk mengatasi masalah yang
muncul. Jumlah tenaga kerja yang tersedia akan berubah karena faktor kelahiran, kematian,
perkawinan, sakit, kehamilan, dan migrasi.
Menurut Boeke, dalam
penelitiannya tentang perekonomian Hindia-Belanda, perekonomian Indonesia
terbagi menjadi dua sektor yang tidak saling berhubungan, yaitu sektor tradisional dan
modern. Konsep dualisme ekonomi ini dapat dijelaskan dalam beberapa tahapan berikut:
- Fase pertama, tujuan pembangunan perdesaan diarahkan dari semula pembangunan komunitas (1950-an) ke penekanan pertumbuhan usaha tani kecil (1960-an).
- Fase Kedua, pertumbuhan usaha tani kecil (1960-an) dilanjutkan kepada upaya pembangunan perdesaan yang terintegrasi (1960-an) melalui kebijakan transfer teknologi, mekanisasi, dan penyuluhan pertanian.
- Fase ketiga, pergeseran pembangunan perdesaan yang dipandu negara (1970-an) menuju liberalisasi pasar (1980-an) melalui kebijakan penyesuaian structural dan pasar bebas.
- Fase keempat, pembangunan perdesaan diarahakan untuk penguatan pendekatan proses, partisipasi, pemberdayaan, dan pelaku (1980-an dan 1990-an).
- Fase kelima, pentingnya penghidupan yang berkesinambungan sebagai sebuah kerangka kerja yang terintegrasi dalam pembangunan perdesaan (1990-an) ,di antaranya lewat penguatan kredit mikro, jaring pengaman perdesaan, dan peran perempuan dalam pembangunan.
- Fase keenam, menempatkan pembangunan perdesaan sebagai strategi untuk mengurangi kemiskinan (2000-an).
📜 Sektor Finansial: Formal dan Informal
Pada umumnya, lembaga
keuangan di perdesaan bisa dibedakan dalam tiga jenis, yaitu lembaga keuangan formal,
lembaga keuangan semi-formal, dan lembaga keuangan informal. Lembaga keuangan formal
diatur dalam UU Perbankan dan disupervisi oleh bank sentral, bisa berupa bank pemerintah
maupun swasta. Bank semi-formal adalah perbankan yang tidak diatur dalam UU, tetapi disupervisi
dan diregulasi oleh agen (lembaga) pemerintah selain bank sentral. Lembaga keuangan
informal beroperasi di luar regulasi dan supervisi lembaga pemerintah (negara).
Lembaga keuangan informal bukan sekedar menyediakan uang (cash) untuk keperluan transaksi,
terkadang memberikan bantuan dalam bentuk barang (in-kind). Karakter yang fleksibel
membuat lembaga keuangan informal memiliki daya tahan yang kuat untuk hidup di wilayah
perdesaan.
Ciri penting dari lembaga
keuangan formal dan semi-formal adalah tipe kesepakatan dalam bentuk sistem
kontrak yang berisi tentang hak dan kewajiban dari masing-masing pihak, misalnya persyaratan
agunan (collateral), model pembayaran (repayment), dan sanksi (punishment) apabila
salah satu pihak ingkar terhadap kesepakatan. Sedangkan lembaga keuangan informal
bersifat sangat cair, hubungan antara kreditor dan debitor bersifat personal, dan nyaris tidak ada
persyaratan administrasi yang dibutuhkan. Dengan karakteristik tersebut, lembaga keuangan informal
lebih mudah diterima oleh masyarakat perdesaan.
Terdapat satu lembaga
keuangan lain di perdesaan yaitu lembaga keuangan swadaya (financial self-help
groups). Prinsipnya adalah adanya rotasi tabungan dan asosiasi kredit (rotating savings and
credit associations), anggota kelompok berkontribusi secara reguler memberikan dana kepada
salah satu atau beberapa anggota (sistem giliran) berdasarkan kesepakatan perputaran
atau tabungan dan kelompok kredit hal ini berguna untuk membangun kerjasama dana pinjaman
melalui pembagian modal (capital shares), tabungan dan pendapatan bersih dari intermediasi
antara penabung dan peminjam, dan menyediakan pinjaman berdasarkan tingkat bunga
eksplisit dan permintaan eksplisit dari semua anggota.
Pada negara lain terdapat
beragam lembaga keuangan yang beroperasi di perdesaan. Di Bangladesh dengan Grameen
Bank (GB) yang menyediakan kredit kepada masyarakat miskin perdesaan (rumah tangga
perdesaan yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar) agar terjadi perubahan kehidupan
ekonomi yang lebih baik. GB membuat pinjaman skala kecil (small loans) di wilayah
perdesaan melalui jaringan yang besar (large network) dari cabang-cabang dan jasa pelayanan
alternatif. Hal tersebut memberikan dua keuntungan yaitu membuka akses yang besar terhadap
kredit (karena tidak ada agunan) dan membebani masyarakat miskin dengan biaya bunga rendah
(dibandingkan lembaga keuangan informal).
📜 Desain Kelembagaan Sektor Finansial
Persoalan lembaga
keuangan di pedesaan bisa diidentifikasi dalam tiga aspek berikut. Yang pertama, masalah
akses kredit. Karakteristik masyarakat pedesaan dengan skala usaha kecil menyebabkan mereka
tidak memiliki aset yang mencukupi untuk digunakan sebagai agunan. Kedua, posisi
tawar dan informasi masyarakat pedesaan yang sangat rendah menyebabkan rawan
terhadap praktik manipulasi dan lembaga keuangan formal maupun semi formal. Ketiga, informasi
yang asimetris dari pemberi pinjaman atau kredit terhadap peminjam. Lembaga keuangan formal
hanya melihat agunan sebagai kriteria pemberian pinjaman, karena apabila terjad kasus
kegagalan mereka tetap tidak ada risiko kehilangan uang yang dipinjamkan dengan jalan mengeksekusi
agunan.
Kehadiran lembaga
keuangan informal dapat dilihat melalui 2 perspektif yang pertama pemikiran represi
keuangan yang beralasan bahwa pelaku keuangan informal memulai usaha sebagai akibat dari
regulasi pemerintah yang besar besaran terhadap sektor keuangan formal seperti kebijakan
penggunaan kredit langsung atau suku bunga ganda. Kedua pemikiran struktularis yang melihat
munculnya lembaga keuangan informal diluar motif ekonomi. Dari perfektif ini segmentasi
pasar terjadi bukan akibat regulasi pemerintah, tetapi karena kelembagaan keuangan
informal memang melayani kelompok sosial lain.
Debitur terutama yang
berskala kecil termasuk para petani memiliki posisi tawar yang rendah berhadapan dengan
kelembagaan keuangan informal (money lander) dan tengkulak misalnya dalam kasus
pengenaan suku bunga. Pelaku ekonomi skala kecil karena tidak memiliki opsi lain selain
lembaga keuangan informal akibat tidak memiliki atau keterbatasan akses kelembagaan
keuangan formal cenderung menerima berapapun tingkat suku bunga yang diberikan oleh pihak
informal. Dalam beberapa kasus, tingkat suku bunga itu bisa mencapai 50% perbulannya. Dengan
kata lain, tingkat bunga yang dikenakan mencapai 600% pertahun, berlipat-lipat dari
tingkat lembaga keuangan formal yang berkisar 10-20% pertahun.
Dari fakta diatas
menunjukkan bahwa kelemahan lembaga keuangan informal adalah menepatkan pelaku ekonomi
skala kecil dalam posisi yang tidak setara. Oleh karena itu isu yang harus ditangani bila
lembaga keuangan informal ini hendak dikembangkan adalah memperkuat posisi petani
pada saat berhadapan dengan lembaga keuangan informal atau pemerintah memberikan
regulasi batas bunga maksimal yang dapat dikenakan oleh lembaga keuangan informal pada
debitor kecil.
Dalam konteks lembaga
keuangan formal, kelemahan yang paling tampak adalah persyaratan agunan yang
berat dan birokrasi yang berbelit sehingga menyusahkan para petani untuk mendapatkan kredit.
Lembaga keuangan formal layak dikembangkan karena memiliki kelebihan seperti
pengenaan bunga kredit yang lebih rendah serta lembaga keuangan formal juga mengajari pelaku
usaha kecil membuat business plan untuk bekal keterampilan. Jadi yang harus diperbaiki dalam
lembaga keuangan formal adalah masalah penurunan nilai agunan dan pemangkasan birokrasi,
salah satu alternatifnya ialah pemerintah bisa menjadi penjamin agunan (collateral
guarantor) dari setiap kredit yang diajukan masyarakat pedesaan ke lembaga keuangan formal.
Lembaga keuangan informal memiliki kelebihan yaitu prosedur yang sederhana, tanpa
agunan, atau saling mengenal dan waktu pengembalian kredit yang fleksibel. Karakter ini
sangat cocok untuk pelaku ekonomi di pedesaan. Tetapi kelemahan utama lembaga keuangan
informal yakni tingkat bunga kredit yang sangat tinggi. Disini pemerintah dapat
mendesain regulasi dengan cara membatasi tingkat suku bunga atau memperluas akses
masyarakat miskin kepada kredit formal yang jangka panjangnya membuat lembaga keuangan informal
tertekan.
Ada dua langkah lain
untuk mengatasi masalah tersebut.
Pertama, mengaitkan lembaga keuangan informal dengan
lembaga keuangan formal, yang dimaksud asumsi ini adalah lembaga keuangan informal
bisa diajak bekerja sama sebagai channel link kredit dari lembaga keuangan formal di
pedesaan tentunya dengan konsekuensi memberikan kompensasi keuntungan kepada lembaga
keuangan informal tersebut. Dengan modal seperti ini, semua pihak relatif
diuntungkan.
Kedua, mendesain kelembagaan keuangan formal berdasarkan struktur atau hierarki
masyarakat pedesaan, operasi lembaga keuangan formal didesain dengan cara mengadopsi
nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat local seperti pengembangan BPR (bank perkreditan
rakyat). Dengan cara ini, dibutuhkan ketua LPD (kepala adat kelian) yang memiliki sikap jujur,
rela berkorban, memiliki integritas tinggi terhadap moral, tidak cacat di masyarakat. Hal ini
mengusung adat istiadat, misalnya masyarakat Bali percaya dengan karmaphala yaitu setiap
perbuatan akan menuai hasil yang sepadan.
Diluar itu, patut juga
ditelaah adanya perkembangan yang luar biasa terhadap lembaga keuangan mikro, meskipun
efek negative yang ditimbulkan juga tidak kalah banyak. Di seluruh dunia, pada periode
1998-2008, pertumbuhan lembaga keuangan mikro mencapai 474% dan jumlah nasabah melompat
1048% contoh dalam kasus pemerintah yang turun tangan terhadap lembaga keuangn informal
seperti pemerintah Zambia memberikan banyak paket kebijakan jaminan sosial yang
diperuntukkan untuk masyarakat miskin seperti manajemen kredit di sektor pertanian,
investasi infrastruktur dan jasa publik, transfer uang/pendapatan untuk kesejateraan publik,
subsidi makanan, dan program peningkatan kesempatan kerja. Pelaku program itu tidak hanya
agen pemerintah tetapi juga lembaga non pemerintah dan sektor privat atau perusahaan. Meskipun
sebagian besar anggaran berasal dari proyek pemerintah tetapi program terssebut ada
yang lebih baik ditangani oleh non pemerintah seperti program pengawasan.
Sumber: Yustika, Ahmad Erani. 2013. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan. Jakarta: Erlangga.
In Ekonomi Kelembagaan Sekolah
Krisis Ekonomi, Kebijakan Reformasi, dan Kelembagaan Ekonomi
Posted on
📜 Perspektif Krisis Ekonomi
Ada dua alasan
menempatkan krisis 1997/1998 sebagai titik pijak mengkaji ulang perekonomian nasional, yaitu:
- Krisis sangat dahsyat sehingga menghancurkan seluruh sendi perekonomian, pemicunya dari sisi moneter, khususnya nilai tukar. Krisis itu meruntuhkan bangunan sektor rill yang berakibat pertumbuhan ekonomi terperosok hingga minus 13,1% pada 1998 (Nasution, 2002:158)
- Setelah krisis tersebut, perekonomian nasional menjadi lebih ramah kepada pasar terbuka, dan terdesentralisasi.
Sejak dekade 1980-an
dinamika perekonomian berjalan dengan cepat. Hal ini terjadi di negara maju maupun
berkembang. Pertengahan tahun 1997 krisis ekonomi menyerang wilayah Asia dan terus merembet
ke negara-negara lainnya (Stiglitz, 2004:5). Pemicu krisis 1997/1998. Pertama, pandangan yang
beragumentasi bahwa fundamental ekonomi yang rapuh dan inkonsistensi kebijakan
sebagai sumber utama krisis “first generation model” dikembangkan oleh Krugman (1979) serta
Flood dan Garber (1986) yang menjelaskan krisis mata uang sebagai hasil dari
inkonsistensi fundamental dalam memformulasikan kebijakan ekonomi domestik. Kedua,
keyakinan bahwa sumber krisis adalah kepanikan yang terjadi di sektor keuangan yang berinteraksi
dengan ekspektasi pelaku ekonomi sehingga berpengaruh langsung terhadap kebijakan
makroekonomi “second generation model” diusung oleh Obstfeld (1996) memberi penjelasan
deskripsi generik hubungan teoretis antara model makroekonomi dengan ekspektasi rasional, di
mana diyakini ekspektasi yang terjadi di pasar berpengaruh secara langsung terhadap
keputusan membuat kebijakan ekonomi (lihat juga Roubini dan Mihm, 2010:29).
Pada kasus Indonesia,
pandangan first generation model dapat dilacak kebenarannya setelah melihat
fundamental ekonomi nasional. Sebagian besar perbankan dimiliki oleh konglomerat yang
memanfaatkan bank tersebut untuk membiayai perusahaan satu induknya, sehingga kerap melanggar
regulasi “legal lending limit”. BUMN juga dipaksa melakukan penyimpangan untuk
memberi ongkos proyek pemerintah yang studi kelayakannya tidak jelas maupun proyek yang
beresiko tinggi.
Second generation model,
pada November 1997 krisis ekonomi di Indonesia tidak akan menyebar secara cepat dan
mengalami pendalaman yang parah bila pemerintah tidak mengambil keputusan
melikuidasi 16 bank (sesuai anjuran IMF), IMF merasa bank-bank tersebut tergolong kecil,
hanya memberikan kontribusi sekitar 2,5% dari total aset sektor perbankan sehingga
dipastikan tidak akan menciptakan komplikasi masalah yang berlebihan (Indrawati, 2002:582).
📜 Reformasi Ekonomi Terbalik
Reformasi Ekonomi
terbalik adalah pemerintah melakukan perombakan pada level makro ekonomi terlebih
dulu dan hal tersebut dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada saat krisis ekonomi 1997/1998
dan hal tersebut serupa diterapkan di negara-negara Eropa Timur. Proyek reformasi ekonomi
dijajaki sejak krisis ekonomi politik pada 1997/1998. Dalam implementasinya terdapat
dua kubu yakni kubu Asia dan kubu Eropa Timur. Dalam mendesain perbaikan kinerja
perusahaan, khususnya perlakuan terhadap BUMN, pendekatan Asia lebih banyak menempuh
upaya-upaya perluasan otonomi dan akuntabilitas. Negara Eropa Timur lebih menyukai cara
privatisasi untuk mereformasi kinerja BUMN. Negara-negara Asia menganggap yang
diperlukan sebuah korporasi untuk mengembangkan diri adalah adanya otonomi dan
akuntabilitas, bukan terletak pada masalah kepemilikannya. Apakah dipunyai oleh negara atau swasta.
Negara-negara Eropa Timur memandang pasar (swasta) akan lebih mampu secara efektif dan
efisien memajukan sebuah perusahaan dibandingkan apabila dikelola oleh negara. Reformasi ekonomi
terbalik pada situasi Indonesia dimana:
- Pemerintah mengubah secara drastis hak kepemilikan sumber daya ekonomi menuju kepemilikan swasta termasuk sumber daya ekonomi yang seharusnya dikuasai oleh negara.
- Kontrol harga dilepas satu per satu, khususnya yang berkenaan dengan komoditas pertanian, padahal kelembagaan produksi dan distribusi belum sepenuhnya disentuh pemerintah.
- Liberalisasi dijalankan secara ekstensif, baik di sektor perdagangan maupun investasi asing (Kuncoro dan Resosudarmo, 2006:350). Indeks keterbukaan pasar keuangan Indonesia berada pada posisi kedua tertinggi setelah Singapura pada 2006. Sebaliknya, pasar keuangan di China dan India sangat ketat.
- Strategi privatisasi lebih dipilih pemerintah untuk membangun kultur korporasi dan efisiensi BUMN. Pemerintah meyakini sektor swasta (domestik atau asing) lebih mampu memperbaiki kinerja BUMN yang sedang sekarat.
- Analisis yang fokus pada pilihan dan urutan kebijakan reformasi ekonomi. Pendekatan ini meyakini bahwa pilihan kebijakan reformasi antarnegara tidak bisa diseragamkan karena masing-masing negara memiliki karakteristik dan problem ekonomi yang berlainan.
- Lemahnya desain dan penegakan kelembagaan sebagai 'kaki' dari kebijakan yang telah diproduksi. Pendekatan ini pada level makro berkonsentrasi pada penyusunan kerangka hukum, ekonomi, dan politik agar kebijakan yang diproduksi bisa menjawab tujuan yang ditargetkan. Pada level mikro, pendekatan kelembagaan ini secara spesifik mendesain aturan main yang memungkinkan semua pelaku ekonomi dapat bersaing atau bekerja sama secara adil.
Ada lima implikasi serius dari kebijakan reformasi ekonomi:
- Liberalisasi keuangan hanya menjadi instrumen menafkahi kepentingan sektor keuangan itu sendiri bukan menumbuhkan sektor riil. Sebagian dana perbankan (domestik maupun asing) tidak disalurkan dalam bentuk kredit, tapi berbentuk SBI dan SUN.
- Harga komoditas melambung, turunnya nilai tukar pertanian karena kontrol harga petani dilepas dan kontrol harga dipegang oleh tengkulak
- Impor terus bertambah dan sektor informal semakin membengkak
- Kalahnya pelaku ekonomi tradisional
- terjadinya ketimpangan pendapatan meningkat seiring laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Rasio Gini melesat 0,41
pada 2011. Pola ini mirip dengan peristiwa di AS, ketika kebijakan pasca krisis
ekonomi 2008 sangat menguntungkan lapisan penduduk paling atas (1% penduduk terkaya)
sehingga membuat ketimpangan pendapatan melonjak (Stiglitz, 2012:3). Lima implikasi ini
merupakan “cost of economic reform” yang harus ditanggung masyarakat.
📜 Kerapuhan Kelembagaan Makro
Kelembagaan ekonomi yang
bagus akan mendorong masyarakat berinvestasi, mengakumulasi modal, dan
mengembangkan teknologi baru sehingga masyarakat menjadi lebih sejahtera. Ada tiga
aspek reformasi kelembagaan pada level makro (institutional environment) yang kurang
disentuh pada saat menjalankan reformasi ekonomi, yakni kelembagaan reformasi
administrasi (administrative reform), sistem hukum (legal system reform) dan politik
(political reform) Chowdhury, 1999:389).
Faktor penyebab terjadi
kerapuhan adalah eksternalitas dari perusahaan, barang publik, praktik monopoli dan
oligopoli. Dalam pandangan klasik hal ini penyebab kegagalan pasar akibat ketidakjelasan hak
kepemilikan maka kepastiannya dijamin melalui sistem legal yang kuat mencegah munculnya
pelaku ekonomi yang berbuat curang, penjiplakan, pembajakan. Spirit reformasi ekonomi
adalah memberi tempat yang layak kepada pasar untuk menjalankan misi percepatan kegiatan
ekonomi dengan basis efisiensi.
Aspek reformasi
administrasi-birokrasi nyaris tidak disentuh dalam desain besar reformasi ekonomi di
Indonesia. Investasi yang terjadi di suatu negara bukan hanya fungsi dari tingkat suku bunga,
ekspektasi ekonomi, ketersediaan infrastruktur, ataupun pasokan kredit. Kasus Indonesia yakni,
ketidakmampuan sistem legal memproteksi investor dari perilaku menyimpang (opportunism)
pelaku ekonomi lainnya. Pencurian hak cipta, penjiplakan, dan pembajakan merupakan hal
yang jamak dalam keseharian kegiatan ekonomi, sementara sistem legal memproteksi
investor dari perilaku menyimpang. Implikasinya, insentif ekonomi untuk melakukan investasi
menjadi berkurang. Praktik ini menyebabkan rasio kredit terhadap PDB di Indonesia sangat
rendah dibandingkan negara-negara lain. Tabel 13.2 mewartakan rasio kredit terhadap PDB di
Indonesia hanya skitar 29,1% pada 2010, sangat jauh dibandingkan dengan Thailand (116,6%),
Malaysia (114,9%), Singapura (102,1%), dan Vietnam 125%).
📜 Kedangkalan Kelembagaan Mikro
Selain adanya kegagalan
untuk menciptakan perubahan kelembagaan makro yang menjadi enablin
environment perjalaan reformasi ekonomi, masalah kelembagaan juga muncul pada level mikro
(institutional arrangement). Reformasi ekonomi di Indonesia dapat menghasilkan stabilitas
mikroekonomi yang relatif bagus, namun meninggalkan residu yang tidak kalah gawat, yaitu
kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan pengangguran. Hal tersebut disebabkan oleh
faktor-faktor, yaitu:
- Meskipun dana dan banyak kebijakan ekonomi sudah diproduksi untuk mengatasi masalah kemiskinan, namun penurunan jumlah orang miskin tidak terjadi secara signifikan. Hal ini dikarenakan pemerintah alpa merumuskan kebijakan langsung yang mengaitkan kelembagaan dengan strategi pengurangan kemiskinan, tidak melalui penciptaan aturan main (rules of the game).
- Pertumbuhan ekonomi yang stabil justru menjadi lahan subur bagi peningkatan ketimpangan. Hal tersebut terjadi karena beberapa faktor. Pertama, adana tendensi kesnjangan antara inflasi dan upah minimum yang semakin tipis. Kedua, liberalisasi keuangan hanya menjadi instrumen memutar dana dari satu pemilik modal ke pemilik modal lainnya.
- Pengangguran terbuka secara sistematis menunjukkan penurunan, tetapi jumlah pekerja yang tergolong setengah menganggur masih sangat besar.
Dalam perspektif kelembagaan, hal ini dapat dijelaskan dengan cara:
- Ketimpangan terus terjadi di Indonesia karena tidak adanya kelembagaan yang mengatur jelas bagaimana dana modal dan pengaturan upah terhadap tenaga kerja. UMR berjalan bersamaan dengan inflasi sehingga menyebabkan tidak adanya perubahan dalam kemungkinan membeli barang masyarakat.
- Masalah dana modal yang telah diliberalisasi oleh pemerintah di reformasi ekonomi, tanpa kebijakan kelembagaan justru hanya berputar ke sesama pemilik modal tanpa menumbuhkan investasi yang signifikan.
- Pengangguran terbuka secara sistematis menunjukkan penurunan, tetapi jumlah pekerja yang tergolong setengah menganggur masih sangat besar, diperkirakan mencapai 40 juta jiwa.
Sumber: Yustika, Ahmad Erani. 2013. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan. Jakarta: Erlangga.
Langganan:
Postingan
(
Atom
)