Kenapa kamu harus bertandang
Ketika aku tak ingin menyelak
Kenapa kamu harus bertolak
Ketika akhirnya ku jatuh karam didalammu
Penat
Kamu serupa dengan semua makhluk biadab itu
Yang bertandang seenaknya
Dan bertolak semaunya
Aku benci!
.
.
.
.
Kala itu, aku sedang berada dalam masa pelarianku.
Lari dari persona yang kini berubah tak mengacuhkanku.
Sekarang, ketika aku sudah nyaman berada sendirian di buana ini, tiba tiba kamu datang. Mencoba masuk, kemudian memaksa.
Yang kutahu muasalnya, kau sekedar hanya mengetuk. Sesekali. Lirih pelan seakan ragu-ragu.
Tiada hasil dan respon, kau beranjak menggedor. Semakin sering, tetapi masih lirih. Tegas dan lirih. Mulai kelemitan tentang apa yang ada didalam.
Aku termangu. Bersiap di hadapan gedoranmu yang semakin lama semakin keras, berharap aku meraih kenop dan membukanya.
.... Tetapi aku masih bimbang.
Seakan menuntut, kau mulai tidak lapang. Aku terpekik menatap gedor yang kini menjelma dobrak. Menatap engsel yang sejenak akan lepas dan meloncat, mencerna setiap makna dari dorong paksamu.
Kemudian terbuka.
Aku bergeming. Tak berkedip memindai sosok asing yang berdiri gagah menantangku. Seharusnya aku takut. Seharusnya aku berbalik mengambil sesuatu demi melindungiku.
Bodohnya, aku masih saja termangu.
Ia mengulurkan lengan besarnya. Jemari kokohnya menyapu pandanganku. "Halo. Salam kenal."
Lalu segalanya mengalir begitu saja kala itu. Kau seakan terbiasa singgah disini bersamaku. Aku pun tiada peduli berapa pintu yang telah kau dobrak sebelum kau mendobrak milikku.
Yang terngiang dikepalaku hanyalah, "Biarlah. Kini ia bersamaku."
Ah! Masa-masa di musim Semi kala itu. Merona, segalanya nampak indah dalam jangkau pandangku ketika kau berada lekat didalamnya. Bermekaran dan berbahagia, merona dan penuh sandiwara.
Beriringan dan saling menautkan jemari; mengisi sela kosong diantaranya. Bersama lalui musim semi, hingga sampai pada musim Panas.
Suhu yang meningkat, mungkin itu pulalah yang menyertai argumenmu yang sedikit-sedikit berintonasi naik. Aku terkesiap, sejenak bergetar, kemudian kubalas hujatmu. Sama panasnya; sama intonasinya.
Hingga berlanjut pada Gugur. Eksistensimu semakin pudar disapu sang bayu, ekspetasiku akan jalinan antara kita semakin saru, dan "kita" semakin menjadi baku.
Aku hampir menyerah kala itu, tapi kau kembali.
Di musim Dingin.
Berharap akan rengkuhmu yang tegas nan hangat, juga bisikan manismu yang merasuk jua memabukkan. Menghipnotisku hingga lupa realita. Ekspetasiku melambung jauh ketika itu.
Namun, angan hanyalah berakhir angan.
Kau memutuskan pergi kala itu. Di penghujung Desember, ketika titik rendahku dalam kondisi terburuknya. Mengharap akan setitik hangat, namun yang kudapat hanya dingin.
Mungkin lebih dingin daripada salju kala itu.
Aku meraung, mengikir tanah dengan jemari kosong, mencari secercah hangatmu yang mungkin tersisa dalam setapakmu yang berbalik membelakangiku. Nihil.
Kau benar-benar lesap—lenyap tiada bekas. Entah dimana rimbamu, hingga titik ini aku pun tak bersua.
Hanya jejakmu yang kini melekat dalam kalbuku, membekas dalam hingga kuyakin aku tak mampu menghapusnya.
Tega nian kau.
Berbalik pergi tanpa mengucap apa-apa.
Bodohnya aku.
Yang hingga kini masih mengharap apa-apa...
Bahkan mengharap kau akan berbalik dan kembali merengkuh cerai berai serpih rapuhku.
-Teruntuk temanku yang masih mengharap ia berbalik memelukmu kembali.
0 wanderer:
Posting Komentar