Satu.
Dua.
Tiga.
Empat...
Seperti biasanya. Mematut diri di cermin, menghitung satu persatu segala kekurangan pada dirimu dari ujung rambut hingga ujung kuku jari kaki. Menghela napas pelan, kemudian terduduk lemas di lantai keramik yang dingin--masih menatap cermin setinggi badanmu itu.
Seberkas ingatan, sepatah-dua patah kata yang dulu terucap dari bibir lembut seseorang, berputar membentuk sebuah déja vu dikepalamu. Berharap ia ada disini dan kembali menopangmu yang sudah terlampau rapuh.
Aku butuh.
Kamu...
"Tidak, tidak. Jangan merendahkan dirimu seperti itu." Memasang muka tidak-setuju nya, ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Menatapmu yang masih memasang raut putus asa, perlahan ia membelai surai ikalmu yang lembut.
Manik cokelatmu bergulir menatapnya, bertumbuk dengan miliknya yang sewarna denganmu, hanya saja lebih gelap; hampir hitam. Ada pantulan dirimu disana, hanya dirimu. Kilatan keceriaan terpapar disana, meskipun didominasi oleh kesedihan yang misterius--yang tidak akan kamu ketahui.
Mengerjap. "Tapi aku mungkin tidak seperti yang kamu bayangkan." Ucapmu, menunduk menghindari tatapan mengintimidasinya. "Aku buruk bagimu."
Ia mendesah kuat-kuat, terkadang kesal menghadapimu yang seperti orang depresi. "Aku memandangmu dengan cara berbeda, kamu tau? Dan meskipun kamu buruk, tapi perasaanku nggak pernah salah. Aku yang memutuskan untuk memilihmu."
Sejenak tenggorokanmu tercekat, sedikit merasa iba, dan bersalah."Keluargaku disfungsional, aku selalu berada dalam tekanan mental, ibuku mendominasi kehidupanku, pemalas, tidak bertanggung jawab, tidak dipercaya, tidak punya 'rumah' untuk pulang--"
"Setidaknya kamu masih punya aku!"
Seruannya yang melengking sejenak membuatmu berhenti berpikir. Wajahnya masih terlihat kesal, kali ini kamu bisa melihat kedua matanya berkaca-kaca, menahan tangis yang terancam pecah. "Kamu begitu, mungkin karena kamu menganggap dirimu lemah. Tapi, aku tahu kamu kuat. Sangat kuat. Lebih kuat daripadaku."
Sebelah punggung tangannya mengusap setitik air mata yang terlanjur pecah. Kamu diam tak berkutik. Selama ini kamu menganggap dialah yang paling kuat, paling tangguh, orang paling hebat yang pernah kamu kenal.
.... Tapi dia menangis seperti ini hanya karena memikirkanmu.
Bodoh.
Seharusnya kamu sadar. Kamu masih punya bahu untuk bersandar. Kamu masih punya tangan untuk menguatkan. Kamu masih punya rumah untuk pulang. Kamu masih punya dia.
Dia yang sekarang terduduk dan menangis dalam diam.
"Apa aku sudah gagal memahamimu?" Ucapnya dalam sela-sela isaknya. Tidakkah kamu sadar? Berkali-kali hatinya tersayat karena perilakumu, tapi berkali-kali juga ia bangkit untuk kembali memaafkanmu?
"Maafkan aku."
Masih menatap cermin, masih diam, masih meratap. Masih kembali pada saat-saat itu.
Bagaimana ia dimulai, bagaimana kamu berubah, dan bagaimana ia diakhiri.
Dimana kamu masih didominasi olehnya.
Oleh egomu.