Hidupku penuh dengan berlari.
Menghindar, kabur, sembunyi, dan yang lebih parah; menipu.
Aku terbiasa berlari dari orang lain, mungkin karena itulah aku tidak bisa sepenuhnya terbuka kepada mereka tentang apa yang aku rasakan--bahkan kepada sahabat-sahabatku. Bahkan kepada kedua orangtuaku. Bahkan mungkin kepada diriku sendiri. Aku memiliki kecenderungan untuk tidak mau mengakui kemudian lari, memendamnya kemudian membuangnya dalam setiap langkah lebar yang kuambil. Menangis hingga bulir-bulir air mata itu jatuh ke tanah dan mengering, kemudian tersenyum seakan tidak terjadi apa-apa.
Mungkin karena itu aku benci menengok kebelakang.
Buat apa? Sama saja dengan bunuh diri. Membuka luka yang sekarang sudah tidak terlihat jejaknya sama sekali. Lebih baik membohongi diri sendiri dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa; itu lebih baik. Bersikap seolah semuanya baik-baik saja, memberikan sugesti kuat pada diri sendiri, dan pada ujungnya akan meyakini bahwa hal itu tidak pernah terjadi.
Itu senjataku untuk membentengi diri--bagus sekali, bukan?
Pada akhirnya, aku bisa tertawa lepas tanpa beban. Bisa tersenyum kapan pun, bahkan ketika semua orang sedang dalam kudung kesedihan dan kepanikan; aku tetap tenang. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, merencanakan plan A B C, kemudian tinggal menunggu apa yang akan terjadi.
Hidup memang semudah itu. Semuanya bergantung pada pola pikirmu dan caramu dalam menentukan sesuatu dan bertindak.
Dan yang terpenting, sugesti.
.
.
.
Sampai sekarang pun aku masih berlari, tidak memiliki keinginan sedikitpun untuk berhenti. Masih terus menyugesti, masih terus tersenyum, masih terus berpikir bahwa waktu yang akan menyelesaikan semuanya.
Hingga dia berteriak menyadarkanku yang masih terus berlari dari kenyataan.
Di tengah-tengah obrolan malam kami, hari ini ia mengungkapkan sesuatu.
"Cuma belakangan ini terlihat seperti kamu menutup-nutupi sesuatu"
Melambat--pelan--kemudian berhenti.
Astaga.
Ia berhasil menghentikanku. Ia berhasil mengejarku. Ia berhasil menangkapku. Ia berhasil membuka penyamaranku yang sempurna...
Tidak. Itu tidak benar. Aku tidak merasa menutupi apapun... tidak, tidak sampai kamu mengatakan hal itu. Tidak sampai kamu telah menghancurkan semua sugestiku yang kutanam sedemikian rupa; sesempurna mungkin.
Jangan--apa karena kita sama, apa karena kamu juga pernah merasakan yang pernah kurasakan, kamu mengerti? Apa kamu pernah berbohong kepada dirimu sendiri dan bersikap seolah semuanya baik-baik saja? Apa kamu tahu? Apa kamu mengerti?
Kakiku sudah terlalu lelah. Aku ingin beristirahat.
Mungkin sudah waktunya aku menghadapi perasaanku sendiri. Mungkin sudah waktunya aku menoleh ke samping, menumbukkan tatapanku pada kedua manik matamu yang seakan merobek-robek isi hatiku yang penuh kamuflase, hasil bertahun-tahun kabur dari kesedihan dan memasang topeng kebahagiaan.
"Akhirnya," aku berujar. Bibirku bergetar menahan lelehan air mata yang sedikit lagi akan tumpah.
Tidak dapat dibantah lagi, sesuatu dalam diriku memberontak; berteriak. Dialah orangnya.
Ia masih terus menatapku. Menungguku menyelesaikan frasaku sementara ia masih terus mencari-cari apa yang seharusnya ia percayai; apa yang terjadi padaku.
Percayalah, satu hal, yang tidak ingin aku kamuflasekan darimu.... percayalah bahwa aku menyayangimu. Perasaan itu benar, dan itu satu-satunya hal yang aku ingin kamu tahu bahwa itu tidak palsu.
Jemarinya bergerak; rupanya air mataku telah meleleh, turun membuat anak sungai di pipiku. Aku menarik nafas, rasanya sakit; tapi perasaan bahagiaku tidak terbendung lagi.
"Ada yang bisa selalu menemukanku."